Jumat, 20 Juni 2008

Makalah Jiwa 2 (Child Abuse)

TINJAUAN TEORI

    1. Definisi

Pada 1963, Delsboro mendefinisikan “child abuse” adalah seorang anak yang mendapat perlakuan badani yang keras, yang dikerjakan sedemikian rupa sehingga menarik perhatian suatu badan dan menghasilkan pelayanan yang melindungi anak tersebut.

Child Abuse adalah perlakuan salah terhadap fisik dan emosi anak, menelantarkan pendidikan dan kesehatannya dan juga penyalahgunaan seksual (Synder, 1983).

David Gil (1973) mangatakan bahwa child abuse adalah setiap tindakan yang mempengaruhi perkembangan anak, sehingga tidak optimal lagi. Sedangkan David Gil 1981 (dikutip dari Lynch MA, 1992) yang dimaksud dengan perlakuan salah terhadap anak adalah termasuk penganiayaan, penelantaran, dan eksploitasi terhadap anak dimana ini adalah hasil dari perilaku manusia yang keliru terhadap anak.

Faontana, pada tahun 1971 membuat definisi yang lebih luas dari “child abuse”, dimana termasuk malnutrisi dan menelantaran anak sebagai stadium awal dari sindrom perlakuan salah dan penganiayaan fisik berada pada stadium akhir yang paling berat dari spektrum perlakuan salah oleh orang tuanya/pengasuhnya.

    1. Etiologi

  1. Nilai atau norma yang ada

di masyarakat

  1. Hubungan antar manusia

  2. Kemajuan zaman : pendidikan,

hiburan, olah raga,

kesehatan, hukum, dsb.

    1. Klasifikasi

Perlakuan salah terhadap anak, dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu:

  1. Dalam keluarga

    • Penganiayaan fisik

Yaitu cedera fisik sebagai akibat hukuman badan diluar batas, kekejaman atau pemberian racun.

    • Kelalaian/penelantaran anak

Kelalaian ini selain tidak sengaja, juga akibat dari ketidaktahuan atau kesulitan ekonomi.

    • Penganiayaan emosional

Ditandai dengan kecaman kata-kata yang merendahkan anak atau tidak mengakui sebagai anak. Keadaan ini sering kali berlanjut dengan melalaikan anak, mengisolasikan anak dari lingkungannya/hubungan sosialnya atau menyalahkan anak secara terus menerus. Penganiayaan emosi seperti ini umumnya selalu diikuti bentuk penganiayaan lain.

    • Penganiayaan seksual

Mengajak anak untuk melakukan aktifitas seksual yang melanggar norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat, dimana anak tidak memahami/tidak bersedia. Aktifitas seksual dapat berupa semua bentuk oral genital, genital, anal atau sodomi. Penganiayaan seksual ini juga termasuk incest yaitu penganiayaan seksual oleh orang yang masih ada hubungan keluarga.

    • Sindrom Munchausen

Sindrom ini merupakan permintaan pengobatan terhadap penyakit yang dibuat-buat dan pemberian keterangan palsu untuk menyokong tuntutan.

  1. Diluar keluarga

  • Dalam institusi

  • Di tempat kerja

  • Di jalan

  • Di medan perang

    1. Manifestasi Klinis

      1. Akibat pada fisik anak

  1. Lecet, hematom, luka bekas gigitan, luka bakar, patah tulang, perdarahan retina akibat dari adanya subdural hematom dan adanya kerusakan organ dalam lainnya.

  2. Sekuel/cacat sebagai akibat trauma, misalnya jaringan parut, kerusakan saraf, gangguan pendengaran, kerusakan mata dan cacat lainnya.

  3. Kematian

      1. Akibat pada tumbuh kembang anak

Pertumbuhan dan perkembangan anak yang mengalami perlakuan salah, pada umumnya lebih lambat dari anak yang normal, yaitu:

  1. Pertumbuhan fisik anak pada umumnya kurang dari anak-anak sebayanya yang tidak mendapat perlakuan salah.

  2. Perkembangan kejiwaan juga mengalami gangguan, yaitu:

    1. Kecerdasan

    • Berbagai peneliti melaporkan terdapat keterlambatan dalam perkembangan kognitif, bahasa, membaca dan motorik.

    • Retardasi mental dapat diakibatkan trauma langsung pada kepala, juga karena malnutrisi.

    • Pada beberapa kasus keterlambatan ini diperkuat oleh tidak adanya stimulasi yang adekuat atau karena gangguan emosi.

    1. Emosi

    • Terdapat gangguan emosi pada: perkembangan konsep diri yang positif, atau bermusuhdalam mengatasi sifat agresif, perkembangan hubungan sosial dengan orang lain, termasuk kemampuan untuk percaya diri

    • Terjadi pseudomaturitas emosi. Beberapa anak menjadi agresif atau bermusuhan dengan orang dewasa, sedang yang lainnya menjadi menarik diri/menjauhi pergaulan. Anak suka ngompol, hiperaktif, perilaku aneh, kesulitan belajar, gagal sekolah, sulit tidur, temper tantrum dan sebagainya.

    1. Konsep diri

Anak yang mendapat perlakuan salah merasa dirinya jelek, tidak dicintai , tidak dikehendaki, muram dan tidak bahagia, tidak mampu menyenangi aktifitas dan bahkan ada yang mencoba bunuh diri.

    1. Agresif

Anak yang mendapat perlakuan salah secara badani, lebih agresif terhadap teman sebayanya. Sering tindakan agresif tersebut meniru tindakan orang tua mereka atau mengalihkan perasaan agresif kepada teman sebayanya sebagai hasi miskinnya konsep diri.

    1. Hubungan sosial

Pada anak-anak ini sering kurang dapat bergaul dengan teman sebanyanya atau dengan orang dewasa. Mereka mempunyai sedikit teman dan suka mengganggu orang dewasa misalnya dengan melempari batu atau perbuatan-perbuatan kriminal lainnya.

      1. Akibat dari penganiayaan seksual

Tanda-tanda penganiayaan seksual antara lain:

  1. Tanda akibat trauma atau infeksi lokal, misalnya nyeri perianal, sekret vagina, nyeri dan perdarahan anus.

  2. Tanda gangguan emosi, misalnya konsentrasi berkurang, enuresis, enkopresis, anoreksia atau perubahan tingkah laku.

  3. Tingkah laku atau pengetahuan seksual anak yang tidak sesuai dengan umurnya. Pemeriksaan alat kelamin dilakukan dengan memperhatikan vulva, himen dan anus anak.

      1. Sindrom Munchausen

Gambaran sindrom ini terdiri dari gejala:

  1. Gejala yang tidak biasa/tidak spesifik

  2. Gejala terlihat hanya kalau ada orang tuanya

  3. Cara pengobatan oleh orang tuanya yang luar biasa

  4. Tingkah laku orang tua yang berlebihan

    1. Penatalaksanaan

      1. Diagnosis

Diagnosis perlakuan salah dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik yang teliti, dokumentasi riwayat psikologik yang lengkap, dan laboratorium.

  • Riwayat Penyakit dan Pemeriksaan Fisik

  1. Penganiayaan fisik

  2. Tanda patognomonik akibat penganiayaan anak dapat berupa:

    • Luka memar, terutama di wajah, bibir, mulut, telinga, kepala, atau punggung.

    • Luka bakar yang patognomonik dan sering terjadi: rokok, pencelupan kaki-tangan dalam air panas, atau luka bakar berbentuk lingkaran pada bokong. Luka bakar akibat alat listrik seperti oven atau setrika.

    • Trauma kepala, seperti fraktur tengkorak, trauma intrakranial, perdarahan retina, dan fraktur tulang panjang yang multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda.

    • Trauma abdomen dan toraks lebih jarang dibanding trauma kepala dan tulang pada penganiayaan anak. Penganiayaan fisik lebih dominan pada anak di atas usia 2 tahun27.

  3. Pengabaian

Pengabaian Non organic failure to thrive, yaitu suatu kondisi yang mengakibatkan kegagalan mengikuti pola pertumbuhan dan perkembangan anak yang seharusnya, tetapi respons baik terhadap pemenuhan makanan dan kebutuhan emosi anak.

Pengabaian medis, yaitu tidak mendapat pengobatan yang memadai pada anak penderita penyakit kronik karena orangtua menyangkal anak menderita penyakit kronik, tidak mendapat imunisasi dan perawatan kesehatan lainnya18,24. Kegagalan yang disengaja oleh orangtua juga mencakup kelalaian merawat kesehatan gigi dan mulut anak sehingga mengalami kerusakan gigi.

  1. Penganiayaan seksual

Tanda dan gejala dari penganiayaan seksual terdiri dari:

    • Nyeri vagina, anus, dan penis serta adanya perdarahan atau sekret di vagina.

    • Disuria kronik, enuresis, konstipasi atau encopresis.

    • Pubertas prematur pada wanita.

    • Tingkah laku yang spesifik: melakukan aktivitas seksual dengan teman sebaya, binatang, atau objek tertentu. Tidak sesuai dengan pengetahuan seksual dengan umur anak serta tingkah laku yang menggairahkan.

    • Tingkah laku yang tidak spesifik: percobaan bunuh diri, perasaan takut pada orang dewasa, mimpi buruk, gangguan tidur, menarik diri, rendah diri, depresi, gangguan stress post-traumatik, prostitusi, gangguan makan, dan sebagainya.

      • Laboratorium

Jika dijumpai luka memar, perlu dilakukan skrining perdarahan. Pada penganiayaan seksual, dilakukan pemeriksaan:

  • Swab untuk analisa asam fosfatase, spermatozoa dalam 72 jam setelah penganiayaan seksual.

  • Kultur spesimen dari oral, anal, dan vaginal untuk gonokokus.

  • Tes untuk sifilis, HIV, dan hepatitis B.

  • Analisa rambut pubis.

    • Radiologi

Ada dua peranan radiologi dalam menegakkan diagnosis perlakuan salah pada anak, yaitu untuk27:

  1. Identifikasi fokus dari jejas

  2. Dokumentasi

  • Pemeriksaan radiologi pada anak di bawah usia 2 tahun sebaiknya dilakukan untuk meneliti tulang, sedangkan pada anak di atas 4--5 tahun hanya perlu dilakukan jika ada rasa nyeri tulang, keterbatasan dalam pergerakan pada saat pemeriksaan fisik. Adanya fraktur multipel dengan tingkat penyembuhan yang berbeda, merupakan suatu kemungkinan adanya penganiayaan fisik.

  • CT-scan lebih sensitif dan spesifik untuk lesi serebral akut dan kronik, hanya diindikasikan pada penganiayaan anak atau seorang bayi yang mengalami trauma kepala yang berat.

  • MRI (Magnetic Resonance Imaging) lebih sensitif pada lesi yang subakut dan kronik seperti perdarahan subdural dan sub arakhnoid.

  • Ultrasonografi digunakan untuk mendiagnosis adanya lesi viseral.

  • Pemeriksaan kolposkopi untuk mengevaluasi anak yang mengalami penganiayaan seksual.

      1. Pencegahan dan penanggulangan penganiayaan dan kekerasan pada anak.

      1. Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan dapat melakukan berbagai kegiatan dan program yang ditujukan pada individu, keluarga, dan masyarakat.

Prevensi primer-tujuan : promosi orang tua dan keluarga sejahtera

Individu

  • Pendidikan kehidupan keluarga di sekolah, tempat ibadah, dan masyarakat.

  • Pendidikan pada anak tentang cara panyelesaian konflik

  • Pendidikan seksual pada remaja yang resiko

  • Pendidikan perawatan bayi bagi remaja yang merawat bayi

  • Pelayanan referensi perawatan jiwa

  • Pelatihan bagi tenaga profesional untuk deteksi dini perilaku kekerasan

Keluarga

  • Kelas persiapan menjadi orangtua di rumah sakit, sekolah, institusi di masyarakat

  • Memfasilitasi jalinan kasih sayang pada orang tua baru.

  • Rujuk orang tua baru pada perawat Puskesmas untuk tindak lanjut (follow up)

  • Pelayanan sosial untuk keluarga

Komunitas

  • Pendidikan kesehatan tentang kekerasan dalam keluarga

  • Mengurangi media yang berisi kekerasan

  • Mengembangkan pelayanan dukungan masyarakat, seperti : pelayanan krisis, tempat penampungan anak/keluarga/usia lanjut/wanita yang dianiaya

  • Kontrol pemegang senjata api dan tajam

Prevensi sekunder-tujuan : diagnosa dan tindakan bagi keluarga yang stress

Individu

  • Pengkajian yang lengkap pada tiap kejadian kekerasan pada keluarga pada tiap pelayanan kesehatan

  • Rencana penyelamatan diri bagi korban secara adekuat

  • Pengetahuan tentang hukuman untuk meminta bantuan dan perlindungan.

  • Tempat perwatan atau “Foster home” untuk korban.

Keluarga

  • Pelayanan masyarakat untuk individu dan keluarga

  • Rujuk pada kelompok pendukung di masyarakat (sefl-help group), misalnya: kelompok pemerhati keluarga sejahtera.

  • Rujuk pada lembaga/institusi di masyarakat yang memberikan pelayanan pada korban.

Komunitas

  • Semua profesi kesehatan terampil memberikan pelayanan pada korban dengan standar prosedur dalam menolong korban.

  • Unit gawat darurat dan unit pelayanan 24 jam memberi respon, melaporkan, pelayanan kasus, koordinasi dengan penegak hukum/dinas sosial untuk pelayanan segera.

  • Tim pemeriksa mayat akibat kecelakaan/cedera khususnya bayi dan anak.

  • Peran serta pemerintah: polisi, pengadilan, dan pemerintah setempat.

  • Pendekatan epidemiologi untuk evaluasi.

  • Kontrol pemegang senjata api dan tajam.

Prevensi tertier-tujuan: reedukasi dan rehabilitasi keluarga dengan kekerasan.

Individu

  • Strategi pemulihan kekuatan dan percaya diri bagi korban.

  • Konseling profesional pada individu.

Keluarga

  • Reedukasi orang tua dalam pola asuh anak

  • Konseling profesional bagi keluarga

  • Self-help-group” (kelompok peduli)

Komunitas

  • Foster home”, tempat perlindungan.

  • Peran serta Pemerintah.

  • Follow up” pada kasus penganiayaan dan kekerasan.

  • Kontrol pemegang senjata api dan tajam.

      1. Pendidikan

Sekolah mempunyai hak istimewa dalam mengajarkan bagian badan yang sangat pribadi, yaitu penis, vagina, anus, mammae dalam pelajaran biologi. Perlu ditekankan bahwa bagian tersebut sifatnya sangat pribadi dan harus dijaga tidak diganggu orang lain. Sekolah juga perlu meningkatkan keamanan anak di sekolah. Sikap atau cara mendidik anak juga perlu diperhatikan agar tidak terjadi aniaya emosional. Guru juga dapat membantu mendeteksi tanda-tanda aniaya fisik dan pengabaian perawatan pada anak.

  1. Penegak hukum dan keamanan

Hendaknya UU no. 4 Thn 1979, tentang kesejahteraan anak cepat ditegakkan secara konsekuen. Hal ini akan melindungi anak dari semua bentuk penganiayaan dan kekerasan. Bab II pasal 2 menyebutkan bahwa “anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.

  1. Media massa

Pemberitaan penganiayaan dan kekerasan pada anak hendaknya diikuti oleh artikel-artikel pencegahan dan penanggulangannya. Dampak pada anak baik jangka pendek maupun panjang diberitakan agar program pencegahan lebih ditekankan.

Gangguan persepsi /sensori: halusinasi penglihatan dan pendengaran

Isolasi sosial: menarik diri

Gangguan konsep diri : harga diri rendah kronis

Defisit perawatan diri : mandi dan berhias

Gangguan pemeliharaan kesehatan




Makalah Jiwa 2 (NAPZA)

TINJAUAN PUSTAKA

    1. Definisi NAPZA

Narkotika berasal dari bahasa Yunani Narkoun yang berarti membuat lumpuh atau mati rasa. Menurut Undang-undang R.I No.22/1997 ditetapkan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik buatan maupun semi buatan yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, mengurangi sampai menghilangkan nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan atau kecanduan. Undang-undang ini memberi batasan penyalahgunaan narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter. Dalam pasal 45 dinyatakan bahwa pecandu narkotika wajib menjalankan pengobatan dan atau perawatan. (www.infonarkoba.com).

NAPZA adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Istilah NAPZA umumnya digunakan oleh sektor pelayanan kesehatan, yang menitik beratkan pada upaya penanggulangan dari sudut kesehatan fisik, psikis, dan sosial. NAPZA sering disebut juga sebagai zat psikoaktif, yaitu zat yang bekerja pada otak, sehingga menimbulkan perubahan perilaku, perasaan, dan pikiran (www.anti.or.id).

Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti perasaan, pikiran, suasana hati serta perilaku jika masuk ke dalam tubuh manusia baik dengan cara dimakan, diminum, dihirup, suntik, intravena, dan lain sebagainya (organisasi.org).

Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah seperti ganja, eroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain (organisasi.org).

WHO (World Health Organization) tahun 1982 membuat definisi mengenai DRUGS "NARKOBA dalam pengertian luasnya adalah suatu zat atau campuran beberapa zat di luar yang diperlukan untuk memelihara kesehatan, yang penggunaannya dapat mengubah fungsi-fungsi biologis dan kemungkinan juga mengubah strukturnya". (secara sederhana, NARKOBA berarti zat apapun juga apabila dimasukkan ke dalam tubuh manusia dapat mengubah fungsi fisik dan atau psikologis) (www.mail-archive.com).

Dalam istilah sederhana Napza berarti zat apapun juga apabila dimasukkan dalam tubuh manusia, dapat mengubah fungsi fisik dan atau psikologis (www.geocities.com).

Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika dan obat atau bahan berbahaya. Selain istilah Narkoba juga dikenal istilah NAPZA yaitu Narkotika, Psikotropika dan Zat adiktif lainnya. Semua istilah ini sebenarnya mengacu pada sekelompok zat yang umumnya mempunyai risiko kecanduan. Narkoba atau NAPZA merupakan bahan/zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan mempengaruhi tubuh terutama susunan syaraf pusat/otak sehingga bilamana disalahgunakan akan menyebabkan gangguan fisik, psikis/jiwa dan fungsi sosial. Karena itu Pemerintah memberlakukan Undang-Undang untuk penyalahgunaan narkoba yaitu UU No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika dan UU No.22 tahun 1997 tentang Narkotika. (www.kapanlagi.com).

2.2 Klasifikasi NAPZA

1. NARKOTIKA (Menurut Undang-Undang RI Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika).

Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan (www.anti.or.id). Narkotika dibedakan kedalam golongan-golongan sebagai berikut:

  • Narkotika Golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan, dan tidak ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan ketergantungan, Narkotik golongan ini paling sering disalahgunakan, contoh :

- Opiat : morfin, herion (putauw), petidin, candu, dan lain-lain

- Ganja atau kanabis, marihuana, hashis

- Kokain, yaitu serbuk kokain, pasta kokain, daun koka.

  • Narkotika Golongan II

Narkotika yang berkhasiat sebagai pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan

dapat digunakan dalam terapi atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan (Contoh : morfin, petidin).

  • Narkotika Golongan III

Narkotika yang berkhasiat sebagai pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau

tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (contoh : kodein).

2. PSIKOTROPIKA (Menurut Undang-undang RI No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika).

Adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.Psikotropika dapat di golongkan menjadi :

  • PSIKOTROPIKA GOLONGAN I

Psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. (Contoh : ekstasi, shabu, LSD).

  • PSIKOTROPIKA GOLONGAN II

Psikotropika yang berkhasiat sebagai pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi, atau tujuan ilmu pengetahuan serta menpunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan . ( Contoh amfetamin, metilfenidat atau ritalin).

  • PSIKOTROPIKA GOLONGAN III

Psikotropika yang berkhasiat sebagai pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan (Contoh : pentobarbital, Flunitrazepam).

  • PSIKOTROPIKA GOLONGAN IV

Psikotropika yang berkhasiat sebagai pengobatan dan sangat luas digunakan dalam terapi atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan (Contoh : diazepam, bromazepam, Fenobarbital, klonazepam, klordiazepoxide, nitrazepam, seperti pil BK, pil Koplo, Rohip, Dum, MG).

Psikotropika yang sering disalahgunakan antara lain :

  • Psikostimulansia : amfetamin, ekstasi, shabu

  • Sedatif & Hipnotika (obat penenang, obat tidur): MG, BK, DUM, Pil koplo dan lain-lain

  • Halusinogenika : Iysergic acid dyethylamide (LSD), mushroom.

3. ZAT ADIKTIF LAIN

Yang dimaksud disini adalah bahan/zat yang berpengaruh psikoaktif diluar yang disebut Narkotika dan Psikotropika, meliputi :

  • Minuman beralkohol

Mengandung etanol etil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu dalam tubuh manusia.

Ada 3 golongan minuman beralkohol, yaitu :

- Golongan A : kadar etanol 1-5%, (Bir)

- Golongan B : kadar etanol 5-20%, (Berbagai jenis minuman anggur)

- Golongan C : kadar etanol 20-45 %, (Whiskey, Vodca, TKW, Manson House, Johny Walker, Kamput.)

  • Inhalansia (gas yang dihirup) dan solven (zat pelarut) mudah menguap berupa senyawa organik, yang terdapat pada berbagai barang keperluan rumah tangga, kantor dan sebagai pelumas mesin. Yang sering disalah gunakan, antara lain : Lem, thinner, penghapus cat kuku, bensin.

  • Tembakau : Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas di masyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA di masyarakat, pemakaian rokok dan alkohol terutama pada remaja, harus menjadi bagian dari upaya pencegahan, karena rokok dan alkohol sering menjadi pintu masuk penyalahgunaan NAPZA lain yang lebih berbahaya.

Bahan/ obat/zat yang disalahgunakan dapat juga diklasifikasikan sebagai berikut :

  • Sama sekali dilarang : Narkotika golongan I dan Psikotropika Golongan I.

  • Penggunaan dengan resep dokter : amfetamin, sedatif hipnotika.

  • Diperjual belikan secara bebas : lem, thinner dan lain-lain.

  • Ada batas umur dalam penggunannya : alkohol, rokok.

Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan NAPZA dapat digolongkan menjadi tiga golongan :

1. Golongan Depresan (Downer)

adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri. Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif (penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-lain.

2. Golongan Stimulan (Upper)

adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi aktif, segar dan bersemangat. Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi), Kafein, Kokain.

3. Golongan Halusinogen

adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu. Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis. Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin (www.infonarkoba.com).

2.3 Epidemiologi NAPZA

Peredaran narkotika di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin marak. Berdasarkan data Badan Koordinasi Narkotika Nasional tahun 2000, ada sekitar 3,5 juta orang penyalahguna narkotika di Indonesia. Besarnya jumlah ini disebabkan Indonesia menjadi daerah tujuan pasar narkotika internasional, dan bukan lagi “sekedar” menjadi tempat transit, terutama di beberapa kota besar seperti Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar.

Mengkhawatirkannya, target utama pasar narkotika ini adalah para remaja. Misalnya di Jakarta saja, pada tahun 2000 ditenggarai ada lebih dari 166 SMTP dan 172 SLTA yang menjadi pusat peredaran narkotika dengan lebih dari 2000 siswa terlibat di dalamnya. Angka inipun masih akan lebih besar, karena fenomena ini seperti gunung es, yaitu yang tampak hanya permukaannya saja dan sebagian besar yang lain belum terlihat. Diperkirakan setiap 1 penyalahguna narkotika yang dapat diidentifikasi, ada 10 orang lainnya yang belum ketahuan (Raymond Tambunan, 2001).

Dari tahun ketahun data menunjukan bahwa angka korban penyalahgunaan narkoba terus meningkat. Terdiri dari berbagai usia dan strata sosial. Bahkan dewasa ini penyalahgunaan narkoba telah meramba tidak hanya dikalangan SLTP tetapi juga mengancam siswa sekolah dasar (www.anti.or).

Menurut data yang dihimpun Depkes, persentase zat yang paling banyak disalahgunakan adalah golongan opiat. Pengguna jarum suntik pada penyalahgunaan NAPZA dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan, dari 22,2% pada tahun 2001, 46,9 % pada tahun 2002 dan menjadi 61,8% pada tahun 2003. Sedangkan menurut golongan umur, walaupun pada 3 tahun terakhir jumlah terbanyak didominasi kelompok umur 20-24 tahun, akan tetapi pada kelompok umur 25-29 tahun telah terjadi peningkatan, yaitu dari 23,9% pada tahun 2001, 26,2% pada tahun 2002 dan 29,4 % pada tahun 2003. Peningkatan persentase juga terjadi pada kelompok umur 30-34 tahun yaitu 5,5% pada tahun 2001, 6,8% pada tahun 2002 dan 9,3% pada tahun 2003. Pada tahun 2003, 1,17% pasien rawat inap di rumah sakit karena gangguan mental dan perilaku yang disebabkan penggunaan NAPZA telah meninggal dunia. Data di Bagian Forensik FK-UI Jakarta pada tahun 1999-2003 juga menunjukkan adanya kenaikan jumlah kematian karena kasus overdosis yang sebagian besar disebabkan oleh overdosis heroin.

    1. Penyebab Penyalahgunaan NAPZA

Pada setiap kasus, ada penyebab yang khas mengapa seseorang menyalahgunakan NAPZA dan ketergantungan. Artinya, mengapa seseorang akhirnya terjebak dalam perilaku ini merupakan sesuatu yang unik dan tidak dapat disamakan begitu saja dengan kasus lainnya. Namun berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa faktor yang berperan pada penyalahgunaan NAPZA.

1. Faktor Keluarga

Dalam percakapan sehari-hari, keluarga paling sering menjadi tertuduh timbulnya penyalahgunaan NAPZA pada anaknya. Tuduhan ini tampaknya bukan tidak beralasan, karena hasil penelitian dan pengalaman para konselor di lapangan menunjukkan peranan penting dari keluarga dalam kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA. Berdasarkan hasil penelitian tim UNIKA Atma Jaya dan Perguruan Tinggi Kepolisian Jakarta tahun 1995, terdapat beberapa tipe keluarga yang beresiko tinggi anggota keluarganya (terutama anaknya yang remaja) terlibat penyalahgunaan NAPZA.

Keluarga yang memiliki sejarah (termasuk orang tua) mengalami ketergantungan NAPZA.

Keluarga dengan manajemen keluarga yang kacau, yang terlihat dari pelaksanaan aturan yang tidak konsisten dijalankan oleh ayah dan ibu (misalnya, ayah bilang ya, ibu bilang tidak).

Keluarga dengan konflik yang tinggi dan tidak pernah ada upaya penyelesaian yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Konflik dapat terjadi antara ayah dan ibu, ayah dan anak, ibu dan anak, maupun antar saudara.

Keluarga dengan orang tua yang otoriter. Di sini peran orang tua sangat dominan, dengan anak yang hanya sekedar harus menuruti apa kata orang tua dengan alasan sopan santun, adat istiadat, atau demi kemajuan dan masa depan anak itu sendiri tanpa diberi kesempatan untuk berdialog dan menyatakan ketidaksetujuannya.

Keluarga yang perfeksionis, yaitu keluarga yang menuntut anggotanya mencapai kesempurnaan dengan standar tinggi yang harus dicapai dalam banyak hal.

Keluarga yang neurosis, yaitu keluarga yang diliputi kecemasan dengan alasan yang kurang kuat, mudah cemas dan curiga, dan sering berlebihan dalam menanggapi sesuatu.

2. Faktor Kepribadian

Kepribadian penyalahguna NAPZA juga turut berperan dalam perilaku ini. Pada remaja, biasanya penyalahguna NAPZA memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.

Selain itu, kemampuan remaja untuk memecahkan masalahnya secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan melarikan diri. Hal ini juga berkaitan dengan mudahnya ia menyalahkan lingkungan dan lebih melihat faktor-faktor di luar dirinya yang menentukan segala sesuatu. Dalam hal ini, kepribadian yang dependen dan tidak mandiri memainkan peranan penting dalam memandang NAPZA sebagai satu-satunya pemecahan masalah yang dihadapi.

Sangat wajar bila dalam usianya remaja membutuhkan pengakuan dari lingkungan sebagai bagian pencarian identitas dirinya. Namun bila ia memiliki kepribadian yang tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan, akan sangat memudahkan kelompok teman sebaya untuk mempengaruhinya menyalahgunakan NAPZA. Di sinilah sebenarnya peran keluarga dalam meningkatkan harga diri dan kemandirian pada anak remajanya.

3. Faktor Kelompok Teman Sebaya (peer group)

Kelompok teman sebaya dapat menimbulkan tekanan kelompok, yaitu cara teman-teman atau orang-orang seumur untuk mempengaruhi seseorang agar berperilaku seperti kelompok itu. Tekanan kelompok dialami oleh semua orang bukan hanya remaja, karena pada kenyataannya semua orang ingin disukai dan tidak ada yang mau dikucilkan.

Kegagalan untuk memenuhi tekanan dari kelompok teman sebaya, seperti berinteraksi dengan kelompok teman yang lebih populer, mencapai prestasi dalam bidang olah raga, sosial dan akademik, dapat menyebabkan frustrasi dan mencari kelompok lain yang dapat menerimanya. Sebaliknya, keberhasilan dari kelompok teman sebaya yang memiliki perilaku dan norma yang mendukung penyalahgunaan NAPZA dapat muncul.

4. Faktor Kesempatan

Ketersediaan NAPZA dan kemudahan memperolehnya juga dapat dikatakan sebagai pemicu. Indonesia yang sudah mendjadi tujuan pasar narkotika internasional, menyebabkan zat-zat ini dengan mudah diperoleh. Bahkan beberapa media massa melansir bahwa para penjual narkotika menjual barang dagangannya di sekolah-sekolah, termasuk sampai di SD. Penegakan hukum yang belum sepenuhnya berhasil tentunya dengan berbagai kendalanya juga turut menyuburkan usaha penjualan NAPZA di Indonesia.

Akhirnya, dari beberapa faktor yang sudah diuraikan, tidak ada faktor yang satu-satu berperan dalam setiap kasus penyalahgunaan NAPZA. Ada faktor yang memberikan kesempatan, dan ada faktor pemicu. Biasanya, semua faktor itu berperan. Karena itu, penanganannya pun harus melibatkan berbagai pihak, termasuk keterlibatan aktif orang tua.

Selain ada juga klasifikasi lain penyebab dari penyalahgunaan NAPZA, yaitu:

1. Faktor Lingkungan

Hubungan keluarga yang tidak harmonis

Lingkungan rawan narkoba

Tekanan kelompok sebaya

Kurangnya kontrol dalam keluarga

2. Faktor Individu

Keinginan coba-coba

Keinginan diterima dalam kelompok

Mengikuti trend

Cari kenikmatan sesaat

Cari perhatian/ sensasi

Ikut tokoh idola

3. Faktor Zat

Mudah didapat

Relatif murah

Menimbulkan ketergantungan fisik & psikis

Berikut ini tahapan seseorang menjadi pencandu, yaitu:

1. Mencoba/ meniru

Penggunaan awal, didorong oleh rasa ingin tahu; tak mengerti akan kemungkinan mengalami ketergantungan dan dampak lainnya.

2. Pengaruh Sosial

Pernah beberapa kali mengkonsumsi, tanpa direncana tapi terpengaruh dengan adanya narkoba atau penggunaannya dalam situasi sosial. Bentuk respon yang kurang matang karena takut dikucilkan oleh teman-temannya.

3. Tujuan tertentu

Beberapa kali mengkonsumsi , dengan sengaja bila mau menghadapi kondisi tertentu,tidak pada waktu yang lainnya.

4. Penyesuaian

Konsumsi semakin sering dan teratur; gejala ketergantungan mulai kelihatan; ciri-ciri pecandu makin jelas tapi masih mampu melaksanakan beberapa tanggung jawab.

5. Ketergantungan

Pengguna narkoba sudah tidak lagi terkendali,rasa ingin mengkonsumsi senantiasa besar; sudah ketergantungan berat; kekerapan dan takaran makin meningkat; gaya hidup banyak merubah pikiran, sikap & perilakunya; melupakan hampir semua tanggung jawab.

2.5 Manifestasi klinis penyalahgunaan NAPZA

1. Perubahan Fisik

Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo (cadel), apatis (acuh tak acuh), mengantuk, agresif. Bila terjadi kelebihan dosis (overdosis): nafas sesak, denyut jantung dan nadi lambat, kulit teraba dingin, bahkan meninggal. Saat sedang ketagihan (sakau): mata merah, hidung berair, menguap terus, diare, rasa sakit seluruh tubuh, malas mandi, kejang, kesadaran menurun. Pengaruh jangka panjang: penampilan tidak sehat, tidak perduli terhadap kesehatan dan kebersihan, gigi keropos, bekas suntikan pada lengan.

2. Perubahan sikap dan perilaku

Prestasi di sekolah menurun, tidak mengerjakan tugas sekolah, sering membolos, pemalas, kurang bertanggung jawab. Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas atau tempat kerja. Sering berpergian sampai larut malam, terkadang tidak pulang tanpa ijin. Sering mengurung diri, berlama – lama di kamar mandi, menghidar bertemu dengan anggota keluarga yang lain. Sering mendapat telpon dan didatangi orang yang tidak dikenal oleh anggota keluarga yang lain. Sering berbohong, minta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tidak jelas penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau keluarga, mencuri, terlibat kekerasan dan sering berurusan dengan polisi. Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, pemarah, kasar, bermusuhan pencurigaan, tertutup dan penuh rahasia.

Tanda-Tanda Kemungkinan Penyalahgunaan Napza

a. Fisik

- berat badan turun drastis

- mata terlihat cekung dan merah, muka pucat, dan bibir kehitam-hitaman

- tangan penuh dengan bintik-bintik merah, seperti bekas gigitan nyamuk dan ada tanda bekas luka sayatan. Goresan dan perubahan warna kulit di tempat bekas suntikan

- buang air besar dan kecil kurang lancar sembelit atau sakit perut tanpa alasan yang jelas

b. Emosi

- sangat sensitif dan cepat bosan

- bila ditegur atau dimarahi, dia malah menunjukkan sikap emosinya naik turun

- tidak ragu untuk memukul orang atau berbicara kasar terhadap anggota keluarga atau orang di sekitarnya

- nafsu makan tidak menentu

2.6 Dampak Penyalahgunaan NAPZA

Paling tidak terdapat 3 aspek akibat langsung penyalahgunaan NAPZA yang berujung pada menguatnya ketergantungan.

    1. Secara fisik: penggunaan NAPZA akan mengubah metabolisme tubuh seseorang. Hal ini terlihat dari peningkatan dosis yang semakin lama semakin besar dan gejala putus obat. Keduanya menyebabkan seseorang untuk berusaha terus-menerus mengkonsumsi NAPZA.

    2. Secara psikis: berkaitan dengan berubahnya beberapa fungsi mental, seperti rasa bersalah, malu dan perasaan nyaman yang timbul dari mengkonsumsi NAPZA. Cara yang kemudian ditempuh untuk beradaptasi dengan perubahan fungsi mental itu adalah dengan mengkonsumsi lagi NAPZA.

    3. Secara sosial: dampak sosial yang memperkuat pemakaian NAPZA. Proses ini biasanya diawali dengan perpecahan di dalam kelompok sosial terdekat seperti keluarga (lihat faktor penyebab keluarga), sehingga muncul konflik dengan orang tua, teman-teman, pihak sekolah atau pekerjaan. Perasaan dikucilkan pihak-pihak ini kemudian menyebabkan si penyalahguna bergabung dengan kelompok orang-orang serupa, yaitu para penyalahguna NAPZA juga

Semua akibat ini berujung pada meningkatkannya perilaku penyalahgunaan NAPZA. Beberapa dampak yang sering terjadi dari peningkatan ini adalah sebagai berikut :

      • Dari kebutuhan untuk memperoleh NAPZA terus-menerus menyebabkan penyalahguna sering melakukan pelanggaran hukum seperti mencuri dan menipu orang lain untuk mendapatkan uang membeli NAPZA.

      • Menurun bahkan menghilangnya produktivitas pemakai, baik di sekolah maupun di tempat kerja. Penyalahguna akan kehilangan daya untuk melakukan kegiatannya sehari-hari.

      • Penggunaan jarum suntik secara bersama meningkatkan resiko tertularnya berbagai macam penyakit seperti HIV. Peningkatan jumlah orang dengan HIV positif di Indonesia akhir-akhir ini berkaitan erat dengan meningkatnya penyalahgunaan NAPZA.

      • Pemakaian NAPZA secara berlebihan menyebabkan kematian. Gejala over dosis pada penyalahguna NAPZA menjadi lebih besar karena batas toleransi seseorang sering tidak disadari oleh yang bersangkutan.

    1. Penatalaksanaan pada Penyalahgunaan NAPZA

1. Terapi medis ( terapi organo-biologi)

Terapi ini antara lain ditujukan untuk:

a. Terapi terhadap Keadaan Intoksikasi

  • Intoksikasi opioida:

Beri Naloxone HC 1 0,4 mg IV, IM atau SC dapat pula diulang setelah 2-3 menit sampai 2-3 kali

  • Intoksikasi kanabis (ganja):

Ajaklah bicara yang menenangkan pasien. Bila perlu beri: Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, Clobazam 3x10 mg

  • Intoksikasi kokain dan amfetamin:

Beri Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, atau Klordiazepoksid 10-25 mg oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit sampai 60 menit. Untuk mengatasi palpitasi beri propanolol 3x (10-40) mg oral

  • Intoksikasi alkohol:

Mandi air dingin bergantian air hangat, minum kopi kental, aktivitas fisik (sit-up, push-up) dan bila belum lama diminum bisa disuruh muntahkan

  • Intoksikasi sedatif-hipnotif (Misal: Valium, pil BK, MG, Lexo, Rohip):

Melonggarkan pakaian, membersihkan lendir pada saluran napas dan bila perlu beri oksigen dan infus garam fisiologis

b. Terapi terhadap Keadaan Over Dosis

  1. Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu:

  • Lurus dan tengadahkan (ekstensikan) leher kepala pasien (jika diperlukan dapat memberikan bantalan dibawah bahu)

  • Kendurkan pakaian yang terlalu ketat

  • Hilangkan obstruksi pada saluran napas

  • Bila perlu berikan oksigen

  1. Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar

        • Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal, injeksi adrenalin 0.1-0.2 cc I.M

        • Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru, hiperventilasi) karena sirkulasi darah yang tidak memadai, beri infus 50 ml sodium bikarbonas

  1. Pasang infus dan berikan cairan (misalnya: RL atau NaC1 0.9 %) dengan kecepatan rendah (10-12 tetes per menit) terlebih dahulu sampai ada indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai kebutuhan, jika didapatkan tanda-tanda kemungkinan dehidrasi

  2. Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau trauma yang membahayakan

  3. Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang berikan diazepam 10 mg melalui IV atau per infus dan dapat diulang sesudah 20 menit jika kejang belum teratasi

  4. Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml glukosa 50% IV

c. Terapi pada Sindrom Putus Zat

    • Terapi putus zat opioida

Terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi. Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat inap. Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda:

  1. 1-2 minggu untuk detoksifikasi konvensional

  2. 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid dalam anestesi cepat (Rapid Opiate Detoxification Treatment)

Detoksifikasi hanyalah merupakan langkah awal dalam proses penyembuhan dari penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA. Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida:

  • Tanpa diberi terapi apapun, putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold turkey). Terapi hanya simptomatik saja.

  • Untuk nyeri diberi analgetika kuat seperti: Tramadol, Analgrtik non-narkotik, asam mefenamat dan sebagainya

  • Untuk rhinore beri dekongestan, misalnya fenilpropanolamin

  • Untuk mual beri metopropamid

  • Untuk kolik beri spasmolitik

  • Untuk gelisah beri anti ansietas

  • Untuk insomnia beri hipnotika, misalnya golongan benzodiazepin

  • Terapi putus opioida bertahap (gradual withdrawal)

Dapat diberi morfin, petidin, metadon atau kodein dengan dosis dikurangi sedikit demi sedikit. Misalnya yang digunakan di RS Ketergantungan Obat Jakarta, diberi kodein 3 x 60 mg – 80 mg selanjutnya dikurangi 10 mg setiap hari dan seterusnya. Disamping itu diberi terapi simptomatik

  • Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda

Dipakai Clonidine dimulai dengan 17 mikrogram/kgBB per hari dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Dosis diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari. Sebaiknya di rawat inap (bila sistole < 100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus dihentikan

  • Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid Opioid Detoxification). Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja, dilakukan di RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan antagonist opiat (naltrekson) lebih kurang 1 tahun.

    • Terapi putus zat sedatif/hipnotika dan alkohol

Harus secara bertahap dan dapat diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara: memberikan Benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikkan bertahap sampai terjadi gejala intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg per hari sampai gejala putus zat hilang.

  • Terapi putus Kokain atau Amfetamin

Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan.

  • Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA

    • Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Inj. Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan per oral 3x (2,5-5) mg/hari.

    • Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM

    • Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti pada terapi intoksikasi sedatif/hipnotika atau alkohol.

  • Terapi putus opioida pada neonatus

Gejala putus opioida pada bayi yang dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami ketergantungan opioida, timbul dalam waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain: menangis terus(melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak mau minum, muntah, dehidrasi, hidung tersumbat, demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang memadai. Selanjutnya berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan bertahap, selesai dalam 10 hari

d. Terapi terhadap Komorbiditas

Setelah keadaan intoksikasi dan sindroma putus NAPZA dapat teratasi, maka perlu dilanjutkan dengan terapi terhadap gangguan jiwa lain yang terdapat bersama-sama dengan gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif (co-morbid psychopathology), sebagai berikut :

  • Psikofarmakologis yang sesuai dengan diagnosis

  • Psikoterapi individual

  1. Konseling: bila dijumpai masalah dalam komonikasi interpersonal

  2. Psikoterapi asertif: bila pasien mudah terpengaruh dan mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan yang bijaksana

  3. Psikoterapi kognitif: bila dijumpai depresi psikogen

  • Psikoterapi kelompok

  • Terapi keluarga bila dijumpai keluarga yang patologik

  • Terapi marital bila dijumpai masalah marital

  • Terapi relaksasi untuk mengatasi ketegangan

  • Dirujuk atau konsultasi ke RS Umum atau RS Jiwa

e. Terapi terhadap Komplikasi Medik

Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara terpadu melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran. Misalnya:

  • Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru

  • Komplikasi Jantung di rujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau

Interna/Penyakit Dalam

  • Komplikasi Hepatitis di rujuk ke Bagian Interna/Penyakit Dalam

  • HIV/AIDS dirujuk ke Bagian Interna atau Pokdisus AIDS

  • Dan lain-lain.

f. Terapi Maintenance (Rumatan)

Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi medis serta tidak kriminal. Secara medis terapi ini dijalankan dengan menggunakan:

  • Terapi psikofarmaka, menggunakan Naltrekson (Opiat antagonis), atau Metadon

  • Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan hukum

  • Self-help group, didasarkan kepada beberapa filosofi antara lain : 12-steps

2. Rehabilitasi

Setelah selesai detoksifikasi, penyalahguna NAPZA perlu menjalani Rehabilitasi. Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi. Dengan Rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:

  • Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi ;

  • Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA;

  • Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya;

  • Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik;

  • Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja;

  • Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di lingkungannya.

Beberapa bentuk Program/Pendekatan Rehabilitasi yang ada, antara lain:

a. Program Antagonis Opiat (Naltrexon)

Setelah detoksifikasi (dilepaskan dari ketergantungan fisik) terhadap opioid (heroin/putauw/PT) penderita sering mengalami keadaan rindu yang sangat kuat (craving, kangen, sugesti) terhadap efek heroin. Antagonis opiat (Naltrexon HCI) dapat mengurangi kuatnya dan frekuensi datangnya perasaan rindu itu. Apabila pasien menggunakan opiat lagi, ia tidak merasakan efek euforiknya sehingga dapat terjadi overdosis. Oleh karena itu perlu seleksi dan psikoterapi untuk membangun motivasi pasien yang kuat sebelum memutuskan pemberian antagonis. Antagonis opiat diberikan dalam dosis tunggal 50 mg sekali sehari secara oral, selama 3- 6 bulan. Karena hepatotoksik, perlu tes fungsi hati secara berkala.

b. Program Metadon

Metadon adalah opiat sintetik yang bisa dipakai untuk menggantikan heroin yang dapat diberikan secara oral sehingga mengurangi komplikasi medik. Program ini masih kontroversial, di Indonesia program ini masih berupa uji coba di RSKO

c. Program yang berorientasi psikososial

Program ini menitik beratkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik (kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu, desensitisasi dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan mengembangkan keperibadian dan sikap mental yang dewasa, serta meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal

Berbagai variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting rehabilitasi. Tergantung pada sasaran terapi yang digunakan, misalnya:

  • Psikoterapi yang berorientasi analitik mengambil keberhasilan mendatangkan insight sebagai parameter keberhasilan

  • Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti: Cognitivi Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training

  • Supportive Expressive Psychotherapy

  • Psychodrama, art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara individual

d. Therapeutic Community

Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu tempat. Dipimpin oleh bekas penyalahguna yang dinyatakan memenuhi syarat sebagai konselor, setelah melalui pendidikan dan latihan. Tenaga profesional hanya sebagai konsultan saja. Disini penderita dilatih keterampilan mengelola waktu dan perilakunya secara efektif serta kehidupannya sehari-hari, sehingga dapat mengatasi keinginan memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan mencegah relaps. Dalam komonitas ini semua ikut aktif dalam proses terapi. Ciri perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota bertanggung jawab terhadap perbuatannya, ganjaran bagi yang berbuat positif dan hukuman bagi yang berperilaku negatif diatur oleh mereka sendiri.

e. Program yang berorientasi Sosial

Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka dapat kembali kedalam kehidupan masyarakat yang normal, termasuk mampu bekerja.

f. Program yang berorientasi kedisiplinan

Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara melatih hidup menurut aturan disiplin yang telah ditetapkan.

g. Program dengan Pendekatan Religi atau Spiritual

Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk menyelenggarakan rehabilitasi ketergantungan NAPZA

h. Lain-lain

Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai modalitas terapi dan rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan masih ditunggu. Beberapa bentuk terapi lainnya yang saat ini dikembangkan di Indonesia adalah penggunaan tenaga dalam prana dan meditasi.

Terapi yang mengandalkan adanya kekuatan spiritual baik dalam arti kata kekuatan diri maupun Keagungan Allah telah dikembangkan hampir diseluruh dunia. Dikenal The 12 step Recovery Philosophy, Rational Recovery dan lain-lain.

3. Program pasca rawat (after care)

Setelah selesai mengikuti suatu program rehabilitasi, penyalahguna NAPZA masih harus mengikuti program pasca rawat (After care) untuk memperkecil kemungkinan relaps (kambuh). Setiap tempat/panti rehabilitasi yang baik mempunyai program pasca rawat ini.

4. Narcotics anonymous (na)

NA adalah kumpulan orang,baik laki-laki maupun perempuan yang saling berbagi rasa tentang pengalaman, kekuatan, dan harapan untuk menyelesaikan masalah dan saling menolong untuk lepas dari NAPZA (khususnya Narkotika). Satu-satunya syarat untuk menjadi anggota NA adalah keinginan untuk berhenti memakai Narkotika. NA tidak terikat pada agama tertentu, pihak politik tertentu maupun institusi tertentu. Mereka mengadakan pertemuan seminggu sekali. Pertemuan ini biasanya tertutup, hanya bagi anggota saja atau terbuka dengan mengundang pembicara dari luar. Mereka menggunakan beberapa prinsip yang terhimpun dalam 12 langkah (the twelve steps).

D. Rujukan

a. Karena keterbatasan pengetahuan dan ketrampilan petugas puskesmas, atau karena fasilitas yang tersedia terbatas, pasien yang tak dapat diatasi, sebaiknya dirujuk ke dokter ahli yang sesuai atau dirujuk untuk rawat inap di rumah sakit (misalnya : RS Umum/Swasta ,RS Jiwa, RSKO). Atau ke pusat rehabilitasi.

b. Pasien juga dapat dirujuk hanya untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan penunjang saja, seperti pemeriksaan laboratorium (tes urun), pemeriksaan radio-diagnostik, elektro diagnostik maupun test psikologik (IQ, keperibadian, bakat, minat).

BAB 3

FENOMENA NAPZA

Kata shabu-shabu, putaw, ekstasi dan ganja sudah tidak asing lagi di telinga kita. Hampir setiap hari di televisi, koran, radio dan media lainnya terdapat berita mengenai barang-barang haram tersebut. Potensi menghancurkan dari narkoba sangatlah besar. Suatu bangsa berada di ambang kehancuran manakala generasi mudanya sudah menjadi korban penyalahgunaan narkoba.

Dari tahun ketahun data menunjukan bahwa angka korban penyalahgunaan narkoba terus meningkat. Terdiri dari berbagai usia dan strata sosial. Bahkan dewasa ini penyalahgunaan narkoba telah merambah tidak hanya dikalangan SLTP tetapi juga mengancam siswa sekolah dasar. Akankah generasi muda kita nanti menjadi the lost generation?

Dalam percakapan sehari-hari, keluarga paling sering menjadi “tertuduh” timbulnya penyalahgunaan NAPZA pada anaknya. Tuduhan ini tampaknya bukan tidak beralasan, karena hasil penelitian dan pengalaman para konselor di lapangan menunjukkan peranan penting dari keluarga dalam kasus-kasus penyalahgunaan NAPZA.

Kepribadian penyalahguna NAPZA juga turut berperan dalam perilaku ini. Pada remaja, biasanya penyalahguna NAPZA memiliki konsep diri yang negatif dan harga diri yang rendah. Perkembangan emosi yang terhambat, dengan ditandai oleh ketidakmampuan mengekspresikan emosinya secara wajar, mudah cemas, pasif agresif dan cenderung depresi, juga turut mempengaruhi.

Selain itu, kemampuan remaja untuk memecahkan masalahnya secara adekuat berpengaruh terhadap bagaimana ia mudah mencari pemecahan masalah dengan melarikan diri. Hal ini juga berkaitan dengan mudahnya ia menyalahkan lingkungan dan lebih melihat faktor-faktor di luar dirinya yang menentukan segala sesuatu. Dalam hal ini, kepribadian yang dependen dan tidak mandiri memainkan peranan penting dalam memandang NAPZA sebagai satu-satunya pemecahan masalah yang dihadapi.

Sangat wajar bila dalam usianya remaja membutuhkan pengakuan dari lingkungan sebagai bagian pencarian identitas dirinya. Namun bila ia memiliki kepribadian yang tidak mandiri dan menganggap segala sesuatunya harus diperoleh dari lingkungan, akan sangat memudahkan kelompok teman sebaya untuk mempengaruhinya menyalahgunakan NAPZA.

Awal mula seorang menjadi pecandu napza dapat ditinjau dari teori psikologi yang mengungkapkan bahwa biasanya pecandu

(1) mengalami perubahan yang sangat pesat dalam hal fisik, intelektual dan social

(2) keinginan diterima dalam kelompok

(3) menentang figur otoritas

(4) mencari simbol kedewasaan

(5) kuatnya keinginan eksplorasi.

Sebelum menjadi pecandu, pengguna napza sedikitnya belajar tiga hal yaitu

(1) bagaimana menggunakan napza dengan teknik tertentu sehingga menimbulkan efek kejiwaan

(2) bagaimana menyikapi efek kejiwaan itu sendiri

(3) bagaimana meninkmati sensasi yang hadir bersama efek kejiwaan itu.

Terdapat lima tingkatan pengguna :

Pertama, pemakaian coba-coba karena alasan ingin sekedar mencoba/ingin tahu rasa napza.

Kedua, pemakaian sosial/rekreasional yaitu untuk bersenang-senang pada saat rekreasi atau santai.

Ketiga, pemakaian situasional yaitu karena adanya pemicu berupa keadaan sedih, kecewa, tegang dan sebagainya.

Keempat, penyalahgunaan yaitu penggunaan patologik yang mengganggu fungsi sosial serta kelima tahap ketergantungan. Pecandu napza umumnya membentuk kelompok sebaya (peer group) yang mempunyai ikatan batin sangat kuat untuk melindungi kepentingan kelompoknya. Tidak mengherankan jika sangat sulit mengungkap mata rantai jaringan napza.

Pada akhirnya dapat ditarik suatu benang merah bahwa terdapat keterkaitan antara pengguna NAPZA dengan respon kepribadian dan psikologis seseorang, dimana kepribadian dan pola pikir yang cenderung mengarah kepada hal-hal negative dapat menjerumuskan seseorang ke dalam jurang kehancuran. Faktor social dan dukungan keluarga juga tidak kalah berperan penting, sehingga diperlukan peran aktif dari diri pribadi, keluarga, dan lingkungan social (support system) agar penyalahgunaan NAPZA dapat diminimalisir dan dihindari.

Upaya penanggulangan dalam mengatasi penyalahgunaan NAPZA :

  1. Memberikan penyuluhan dini bagi masyarakat tentang bahaya NAPZA

  2. Bagi orang tua hendaknya memperhatikan pola perkembangan interaksi social anak

  3. Menciptakan komunikasi yang baik antara orang tua dengan anak

  4. Keluarga hendaknya menghindari terjadinya konflik yang dapat berpengaruh pada psikologis anak

  5. Konseling bagi remaja yang memiliki potensi tinggi terhadap penyalahgunaan NAPZA

  6. Bagi pecandu, upaya rehabilitasi menjadi pilihan yang utama dalam megatasi masalah tersebut

  7. Pemantauan mantan pecandu menjadi hal yang sangat penting karena mereka memiliki kecenderungan untuk kembali mengkonsumsi NAPZA.


Peran kita sebagai perawat dalam mengatasi masalah penyalahgunaan narkoba antara lain :

  • Memberikan rehabilitasi, misalnya dengan memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.

  • Pemberdayaan diri misalnya dengan penggalian dan pengembangan ketrampilan yang dimiliki oleh pecandu, sehingga diharapkan setelah penderita bebas dari kecanduannya dapat mampu mandiri dengan membuka usaha dari ketrampilan yang dikembangkan dari penggalian selama masa rehabilitasi.

  • Memberikan konseling bagi keluarga pecandu

  • Mengevaluasi perkembangan rehabilitasi

  • Bekerja sama dengan LSM serta lembaga hukum untuk melakukan razia dan penyuluhan ke sekolah – sekolah.


    1. Diagnosa Keperawatan

    1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia

    2. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan gejala putus zat

    3. Gangguan konsep diri, harga diri rendah berhubungan dengan perasaan tidak berdaya akibat penyalahgunaan zat

    4. Koping individu tak efektif berhubungan dengan perubahan afek yang disebabkan oleh perubahan sekunder akibat masukan zat yang mengubah ”mood”

    5. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan abnormal sekunder akibat diare

    6. Resiko cedera berhubungan dengan kesalahan menilai sekunder akibat psikotropik

    7. Resiko terhadap membahayakan diri berhubungan dengan perasaan-perasaan ketidakberdayaan, kesepian, atau keputusasaan sekunder akibat penyalahgunaan zat

    8. Resiko terhadap tindak kekerasan berhubungan dengan penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol

    9. Resiko terhadap ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan dengan ketidakcukupan pengetahuan













Makalah Jiwa 2 (TAK Gg.Orientasi Realita)

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi

Disorientasi adalah gangguan kesadaran mengenai tempat, waktu, atau orang. Gejala ini sering kali dianggap sebagai tanda dari gangguan organik yang menyebabkan gangguan kognitif global, khususnya delirium dan dimensia.

Disorientasi merupakan satu gangguan penghayatan tentang waktu, tempat dan orang. Gejala ini sering dianggap sebagai pertanda gangguan organik yang menghambat fungsi kognitif global, terutama delirium dan dimensia. (Benjamin Kaplan dan J. Sadock, 1998)

Disorientasi atau gangguan orientasi timbul sebagai akibat gangguan kesadaran dan dapat menyangkut waktu (tidak tahu menahu tentang jam, hari, pekan, bulan, tahun, atau musim), tempat (tidak tahu menahu dimanakah dia berada), atau orang (tentang dirinya sendiri atau orang lain, tidak tahu identitasnya atau salah menafsirkan Maramis, 1980).

1.2 Jenis-jenis disorientasi

Gangguan disorientasi bisa dikelompokkan menjadi 3:

  • Disorientasi personal

Gangguan disorientasi personal terjadi manakala seseorang tidak bisa mengenali lagi siapa dirinya, silsilah keluarganya, dari mana asalnya, apa tujuan hidupnya, dan akan kemana ia kembali setelah mati.

  • Disorientasi waktu dan tempat

Gangguan disorientasi waktu dan tempat terjadi manakala seseorang tidak tahu dan tidak ingat waktu (hari, tanggal, bulan, tahun dan jam) serta tidak tahu dan tidak ingat dia berada (ketika itu).

  • Disorientasi spasial

Gangguan disorientasi spasial terjadi ketika seseorang tidak tahu dan tidak ingat dengan bangunan-bangunan atau benda-benda di sekelilingnya, ia merasa asing sama sekali, sehingga ia serba ragu-ragu dan takut salah akan melangkahkan kaki ke suatu tempat. Bangunan dan benda-benda disekitarnya tidak ada yang bisa dijadikan sebagai clue atau pertanda untuk bisa diingat.

1.3 Faktor yang dapat menyebabkan disorientasi

Faktor-faktor organis yang dapat menyababkan disorientasi, diantaranya:

  1. Gangguan pada susunan saraf pusat (akibat trauma pada kepala, kejang atau pasca kejang).

  2. Gangguan pembuluh darah seperti ensepalopati hipertensi dan gangguan degeneratif.

  3. Gangguan metabolisme (gagal ginjal yang menyebabkan uremia, kelainan hati yang berat, hipoksia, hipoglikemia, gangguan sistem endokrin, gangguan cairan elektrolit dan tidak keseimbangan asam basa).

  4. Gangguan jantung dan paru-paru.

  5. Penyakit sistemik, diantaranya intoksikasi atau gejala putus obat, infeksi, keganasan, trauma berat, deprifasi sensoris.

  6. Pasca operasi.

  7. Gangguan pengaturan suhu tubuh

Gangguan orientasi juga bisa disebabkan oleh:

  • Penyalagunaan obat-obatan seperti alkohol, amfetamin, ganja, kokain, zat halus sinogen, opioid, sedatif, hipnotik sedatif

  • Efek samping obat-obatan, jenis analgetik, anestesi, antiasma, antikejang, antiparkinson, kortikosteroid, obat pencernaan, obat pelemas otot, immunosupresan dan antikolinergik.

  • Intoksikasi obat golongan antikolinesterase, insektisida organofosfat, karbonmonoksida, karbondioksida, gas yang berasal dari bahan bakar, solvent.

  • Defisiensi vitamin B (tiamin)

    1. Pemeriksaan dan penatalaksanaan

  1. Dapatkan tanda vital pasien. Jika tanda vital tersebut abnormal, curigailah suatu infeksi sistem saraf pusat, delirium akibat putus alkohol atau sedatif-hipnotik, atau delirium akibat sebab lainnya.

  2. Tanyakan mengenai medikasi. Baik obat psikotropik maupun medis dapat menyebabkan delirium, dimana disorientasi dapat merupakan suatu tanda. Steroid, obat antikolinergik, antikonvulsan, obat antiparkinson, antipsikotik, benzodiazepin, antihipertensi, glikosida jantung, cimetidin (Tagamet), dan disulfiram (Antabuse) harus dipertimbangkan sebagai kemungkinan penyebab gangguan kognitif.

  3. Pertimbangkan penyalahgunaan obat. Intoksikasi atau putus alkohol atau sedatif-hipnotik dan diintoksikasi dengan halusinogen atau psikostimulan mungkin menyebabkan disorientasi pada pasien.

  4. Periksalah pada pasien untuk adanya penggunaan medis atau neurologis. Pertimbangkan keadaan medis tertentu seperti penyakit tiroid, gagal jantung, defisiensi gizi, kanker, gagal hati, gagal ginjal, sepsis, dan gangguan keseimbangan elektrolit. Pertimbangkan gangguan neurologis tertentu seperti trauma kepala, epilepsi, meningitis, ensefalitis, neoplasma sistem saraf pusat dan gangguan vaskular.

  5. Tanyakan pada pasien untuk riwayat dan perjalanan disorientasi. Apakah keadaan ini baru terjadi? Jika demikian pencarian mengenai penyebab yang reversibel harus dilakukan secara agresif.

  6. Pertimbangkan usia pasien. Seorang remaja kemungkinan menggunakan obat-obat jalanan, tetapi orang lanjut usia kemungkinan mengalami demensia atau delirium akibat obat yang diresepkan.

  7. Lakukan pemeriksaan medis. Pemeriksaan yang lengkap adalah terdiri dari pemeriksaan fisik yang terinci dan tes laboratorium, termasuk hitung darah lengkap dengan diferensial hitung sel darah putih; gambaran kimiawi yang mencakup tes fungsi hati, elektrolit dan nitrogen urea darah, fungsi tiroid, B12, dan folat; VDRL; urinalisis; skrining toksikologik urin; EKG; dan foto toraks. CT scan kepala, elektroensefalogram (EEG) dan pungsi lumbal mungkin juga diindikasikan. Konsultasi neurologis dan medis mungkin diperlukan.

Terapi obat

Antipsikotika berdaya kerja kuat dibutuhkan lebih dari benzodiazepin-contoh: haloperidol (Haldol), flufenazin (Prolixin, Anatensol), tiotiksen (Navane), trifluoperazin (Stelazine), semua dalam dosis 2-5mg/oral/IM ; antipsikotika jarang menimbulkan gangguan kognitif seperti benzodiazepin. Namun demikian, benzodiazepin terindikasi bila ada syndrom putus alkohol atau dengan hipnotika-sedatif.

BAB 3

PROPOSAL TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK

GANGGUAN ORIENTASI REALITAS

  1. Pengertian

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) adalah terapi yang bertujuan mengubah perilaku klien dengan memanfaatkan dinamika kelompok.

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) adalah manual, rekreasi dan tehnik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman seseorang serta meningkatkan respon sosial dan harga diri.

Terapi Aktivitas Kelompok Orientasi Realitas (TAKOR) adalah upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata pada klien, yaitu diri sendiri, orang lain, lingkungan atau tempat, dan waktu.

  1. Tujuan

Tujuan umum :

Klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai dengan kenyataan.

Tujuan khusus :

  1. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada.

  2. Klien mengenal waktu dengan tepat.

  3. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orang-orang disekitarnya dengan tepat.

  1. Karakteristik Klien

Klien yang mempunyai indikasi TAK Orientasi Realita adalah klien dengan halusinasi, dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mengenal orang lain, tempat dan waktu.

  1. Masalah Keperawatan

  1. Ketidakefektifan koping individu

  2. Ketidakefektifan koping keluarga

  3. Gangguan proses pikir

  4. Harga diri rendah kronis

  5. Isolasi sosial : menarik diri

  6. Defisit perawatan diri

  7. Gangguan pemeliharaan kesehatan

  8. Resiko prilaku kekerasan pada diri sendiri

  1. Kriteria Evaluasi

  1. Evaluasi Struktur

  • Kehadiran anggota kelompok 100 %

  • Terapis dan setiap anggota kelompok mampu menjelaskan fungsi dan perannya dengan baik

  1. Evaluasi Proses

  • Evaluasi kemampuan klien untuk mengenal diri sendiri dan orang lain yang ada di sekitarnya

  • Evaluasi kemampuan klien untuk menyebutkan dan mengenali nama-nama tempat yang ada disekitarnya

  • Evaluasi kemampuan klien untuk menyebutkan hari, tanggal, bulan, tahun dan jam saat proses TAK berlangsung

  1. Evaluasi hasil

  • Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK

  • Memberikan pujian atas keberhasilan yang telah dicapai oleh kelompok

  1. Pengorganisasian TAK

  1. Terapis

Peran dan fungsi :

  1. Leader : Catur Puji Lestari

  • Menyusun rencana aktivitas kelompok (proposal).

  • Mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan.

  • Memfasilitasi setiap anggota untuk mengekspresikan perasaan, mengajukan pendapat dan memberikan umpan balik.

  • Sebagai ”role model”.

  • Memotivasi setiap anggota untuk mengemukakan pendapat dan memberikan umpan balik

  1. Co-Leader : Ifa Maftukhatin F.

Membantu Leader dalam mengorganisasikan anggota kelompok.

  1. Observer : Herminengtyas

    • Mengobservasi semua respon klien.

    • Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku klien.

    • Memberikan umpan balik kepada kelompok.

  1. Fasilitator : Peni, Ria, nina, ifa

    • Membantu Leader memfasilitasi anggota untuk berperan aktif dan memotivasi anggota.

    • Memfokuskan kegiatan.

    • Membantu mengkoordinasi anggota kelompok.

  1. Seleksi Klien

Seleksi dilaksanakan dua hari sebelum pelaksanaan TAK dan berdasarkan kepada status klien atau pasien.

  1. Nama Klien yang ikut

    • Khikmatul Mu’jizah : pasien kooperatif, menganggap dirinya sebagai Raden Ayu Roro Jonggrang sang penguasa laut selatan yang dibuang ke daratan oleh raja (gangguan orientasi realitas : orang)

  • Nugrahaeni Firdausi: Pasien kooperatif, mengalami disorientasi waktu, pasien mengangap dirinya sekarang hidup pada jaman kemerdekaan setelah penjajahan jepang (gangguan orientasi realitas : waktu)

  • Muh. Dzulfikar Ram : Pasien kooperatif, suka berbicara dan menceramahi orang lain, pasien menganggap dirinya Habiburrahman el-Shirazy penguasa jazirah arab (gangguan orientasi realitas : orang)

  • Joko Iswahyudi : Pasien kooperatif, agak pendiam, pasien menganggap sekarang dirinya berada pada ketinggian 1000 kaki di atas permukaan laut, pasien baru mau berbicara jika di stimulasi/diajak bicara oleh perawat (gangguan orientasi realitas : tempat)

  1. Waktu

TAK Orientasi Realita dilaksanakan pada hari senin tanggal 17 Maret 2008 pukul 12.00-12.30 WIB

  1. Tempat

Tempat pelaksanaan TAK Orientasi Realita di ruang kuliah.

  1. Proses TAK

Sesi 1 : Pengenalan orang

Tujuan

      1. Klien mampu mengenal nama-nama perawat

      2. Klien mampu mengenal nama-nama klien yang lain

      3. Klien mampu mengenal nama anggota keluarganya

Setting

          1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.

          2. Ruangan nyaman dan tenang

Alat

                1. Papan nama sejumlah klien, perawat dan keluarga klien yang ikut TAK.

                2. Spidol

                3. Bola tenis

                4. Tape Recorder

                5. Kaset

Metode

    1. Dinamika kelompok

    2. Diskusi dan tanya jawab

Langkah kegiatan

  1. Fase Persiapan

                1. Memilih klien sesuai dengan indikasi.

                2. Membuat kontrak dengan klien.

                3. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan.

  1. Fase Orientasi

          1. Salam terapeutik

Salam dari terapis kepada klien.

          1. Evaluasi/validasi

Menanyakan perasaan klien saat ini.

          1. Kontrak

              1. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal orang.

              2. Terapis menjelaskan aturan main berikut :

      • Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis.

      • Lama kegiatan 30 menit

      • Setiap klien mengikuti kegiatan dri awal sampai selesai

  1. Tahap Kerja

                1. Terapis membagikan papan nama untuk masing-masing klien.

                2. Terapis meminta masing-masing klien menyebutkan nama lengkap, nama panggilan dan asal.

                3. Terapis meminta masing-masing klien menuliskan nama panggilan di papan nama yan dibagikan.

                4. Terapis meminta masing-masing klien memperkenalkan diri secara berurutan, searah jarum jam dimulai dari terapis, meliputi menyebutkan: nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi.

                5. Terapis menjelaskan langkah berikutnya: tape recorder akan dinyalakan, saat musik terdengar bola tenis dipindahkan dari satu klien ke klien lain. Saat musik dihentikan, klien yang sedang memegang bola tenis menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi dari klien yang lain (minimal nama panggilan).

                6. Terapis memutar tape recorder dan menghentikan. Saat musik berhenti klien yang sedang memegang bola tenis menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi klien yang lain.

                7. Ulangi langkah f sampai semua klien mendapatkan giliran.

                8. Terapis memberikan pujian untuk setiap keberhasilan klien dengan mengajak klien lain bertepuk tangan.

  1. Tahap Terminasi

    1. Evaluasi

      1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

      2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok .

    1. Tindak lanjut

Terapis menganjurkan klien menyapa orang lain sesuai dengan nama panggilan.

    1. Kontrak yang akan datang

      1. Terapis membuat kontrak untuk TAK yang akan datang yaitu “mengenal tempat.”

      2. Menyepakati waktu dan tempat.

Sesi 2 : Pengenalan Tempat

Tujuan

  1. Klien mampu mengenala nama rumah sakit

  2. Klien mampu mengenal nama ruangan tempat dirawat

  3. Klien mampu mengenal kamar tidur

  4. Klien mengenal tempat tidur

  5. Klien mengenal ruang perawat, ruang istirahat, ruang makan, kamar mandi, dan WC

Setting

  1. Terapis dan klien duduk berdua dalam lingkaran

  2. Ruangan tempat perawatan klien

Alat

  1. Tape recorder

  2. Kaset

  3. Gelas berisi air

Metode

  1. Diskusi kelompok

  2. Orientasi lapangan

Langkah Kegiatan

  1. Persiapan

    1. Mengingatkan kontrak pada klien peserta sesi 1 TAK orientasi realitas

    2. Mempesiapakan alat dan tempat pertemuan

  2. Orientasi

  1. Salam terapeutik

    1. Salam dari terapis kepada klien

    2. Terapis dan klien memakai papan nama

      1. Evaluasi/validasi

        1. Menayakan perasaan klien saat ini

        2. Menanyakan apakah klien masih mengingat nama-nama klien yang lain

        1. Kontrak

  1. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal tempat yang biasa dilihat

  2. Terapis menjelaskan aturan main berikut,

    • Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin kepada terapis

    • Lama kegiatan 30 menit

    • Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal hingga selesai

      1. Tahap Kerja

    1. Terapis menanyakan kepada klien nama rumah sakit, nama ruangan; klien diberi kesempatan menjawab. Beri pujian pada klien yang mampu menjawab dengan tepat

    2. Terapis menjelaskan dengan menyalakan tape recorder, sedangkan gelas berisi air di edarkan ke peserta yang lain searah jarum jam. Pada saat lagu berhenti, klien yang sedang memegang gelas berisi air akan diminta menyebutkan nama rumah sakit dan nama ruangan tempat klien di rawat. Dan kegiatan ini di ulang sampai semua peserta mendapat giliran.

    3. Terapis memberikan pujian saat klien telah menyebutkan dengan benar

    4. Terapis mengajak klien berkeliling serta menjelaskan nama dan fungsi ruangan yang ada. Kantor perawat, kamar mandi, WC, ruang istirahat, ruang TAK, dan ruangan lainnya.

      1. Tahap Terminasi

        1. Evaluasi

  1. Terapis menyanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK

  2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok

        1. Tindak lanjut

Terapis menganjurkan klien untuk menghafal nama-nama tempat

        1. Kontrak yang akan datang

    1. Menyepakati kegiatan TAK yang akan datang, yaitu mengenal waktu

    2. Menyepakati waktu dan tempat

Sesi 3 : Pengenalan Waktu

Tujuan

  1. Klien dapat mengenal waktu dengan tepat

  2. Klien dapat mengenal tanggal dengan tepat

  3. Klien dapat mengenal hari dengan tepat

  4. Klien dapat mengenal tahun dengan tepat

Setting

  1. Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran

  2. Klien berada dalam ruangan yang ada kalender dan jam dinding

Alat

  1. Kalender

  2. Jam dinding

  3. Tape recorder

  4. Kaset

  5. Gelas berisi air

Metode

  1. Diskusi

  2. Tanya jawab

Langkah Kegiatan

  1. Persiapan

    1. Mengingatkan kontrak pada klien peserta sesi 2 TAK orientasi realitas

    2. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

  1. Orientasi

      1. Salam terapeutik

    1. Salam dari terapis kepada klien

    2. Terapis dan klien memakai papan nama

b. Evaluasi/ validasi

  1. Menanyakan perasaan klien saat ini

  2. Menanyakan apakah klien masih mengingat nama-nama ruangan yang sudah dipelajari

  1. Kontrak

  1. Terapis menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu mengenal waktu

  2. Terapis menjelaskan aturan main berikut

    • Jika ada klien yang ingin meninggalkan kelompok, harus minta izin kepada terapis

    • Lama kegiatan 30 menit

    • Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai

  3. Tahap Kerja

      1. Terapis menjelaskan kegiatan yang akan dikerjakan

      2. Terapis menjelaskan akan menghidupkan tape recorder, sedangkan gelas berisi air di edarkan dari satu klien ke klien lain. Pada saat musik berhenti, klien yang memegang gelas yang berisi air, menjawab pertanyaan terapis tentang tanggal, bulan, tahun, hari, dan jam saat itu. Kegiatan ini diulang sampai semua klien mendapat giliran.

      3. Terapis memberikan pujian kepada klien setelah memberikan jawaban dengan tepat

  1. Tahap Terminasi

a. Evaluasi

  1. Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK

  2. Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok

      1. Tindak lanjut

Terapis meminta klien memberi tanda/ mengganti kalender setiap hari

      1. Kontrak yang akan datang

      1. Menyepakati TAK yang akan datang sesuai dengan indikasi klien

      2. Menyepakati watu dan tempat

  1. Antisipasi Masalah

Masalah yang mungkin timbul dalam TAK ini antara lain :

  1. Ada klien yang tidak memperhatikan

Intervensi : peran leader untuk memanggil namanya dan memberitahu agar mengikuti kegiatan dengan baik.

  1. Resistensi baik individu maupun kelompok.

Intervensi : peran fasilitator sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang mendukung keberhasilan suatu terapi.

  1. Ada klien yang ingin mengikuti TAK

Intervensi : Leader mempersilahkan klien tersebut untuk mengikuti TAK dengan syarat harus mematuhi peraturan permainan dan tidak mengganggu anggota kelompok yang lain.

  1. Klien tidak mau berperan aktif

Intervensi: jika klien tidak mau mengikuti kegiatan, biarkan klien melihat dulu temannya, setelah seluruh anggota mendemonstrasikan dua kegiatan yang dipilih. Anjurkan klien tersebut untuk ikut mendemonstrasikan dua kegiatan tersebut.

  1. Klien meninggalkan permainan

Intervensi: Panggil nama klien, tanyakan mengapa meninggalkan tempat dan beri penjelasan.





Makalah Jiwa 2 (TAK)

2.1 Definisi Terapi Aktivitas Kelompok

Terapi kelompok merupakan suatu psikoterapi yang dilakukan sekelompok pasien bersama-sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin atau diarahkan oleh seorang therapist atau petugas kesehatan jiwa yang terlatih. (Pedoman Rehabilitasi Pasien Mental Rumah Sakit Jiwa di Indonesia)

Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi klien dengan gangguan interpersonal. (Iyus Yosep, 2007)

Terapi Aktivitas Kelompok ( TAK ) adalah terapi yang bertujuan mengubah perilaku klien dengan memanfaatkan dinamika kelompok.

Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) adalah manual, rekreasi dan tehnik kreatif untuk memfasilitasi pengalaman seseorang serta meningkatkan respon sosial dan harga diri.

Terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Klien dibantu untuk melakukan sosialisasi yang ada di sekitar klien. Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok dan massa.

    1. Tujuan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) dan TAKS (Terapi Aktivitas Kelompok Sosial )

      1. Tujuan Umum TAK

  1. Klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap.

  2. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing)

  3. Membentuk sosialisasi

  4. Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan perilaku defensif (bertahan terhadap stres) dan adaptasi.

  5. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti kognitif dan afektif

      1. Tujuan Khusus TAK

  1. Melatih pemahaman identitas diri

  2. Penyaluran emosi

  3. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk diterapkan sehari-hari

  4. Bersifat rehabilitatif. Pasien-pasien rehabilitatif adalah mereka yang telah sembuh secara medis, tetapi perlu disiapkan fungsi dan kemampuan untuk persiapan mandiri dan sosial di tengah masyarakat. Dari segi rehabilitasi kelompok bertujuan meningkatkan kemampuan ekspresi diri, keterampilan sosial, kepercayaan diri, kemampuan empati dan meningkatkan kemampuan pengetahuan tentang masalah-masalah kehidupan dan pemecahannya.

2.2.3 Tujuan Umum TAKS

Tujuan umum TAKS, yaitu klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap.

2.2.4 Tujan Khusus TAKS

  1. Klien mampu memperkenalkan diri.

  2. Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok.

  3. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok.

  4. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan.

  5. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain.

  6. Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok.

  7. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

    1. Aktivitas dan Indikasi TAK dan TAKS

Semua pasien rehabilisasi perlu mendapatkan terapi aktifitas kelompok (TAK) kecuali mereka yang mengalami :

  1. Psikopat dan sosipat

  2. Selalu diam dan atau autistik

  3. Dilusi yang tidak terkontrol

  4. Klien yang mudah bosan

  5. Pasien rehabilitasi amnbulatory yang tidak termasuk psikosis berat, tidak menunjukkan gejala regresi dan halusinasi dan ilusi yang berat dan orang-orang dengan kepribadian scizoid serta neurotik.

  6. Pasien dengan egi psiko patologi berat yang menyebabkan psikotik kronik sehingga menyebabkan toleransi terhadap kecemasan rendah dan adaptasi yang kurang.

TAKS merupakan upaya melatih kemampuan sosialisasi klien. Klien yang mempunyai indikasi TAKS adalah klien dengan gangguan hubungan sosial sebagai berikut :

  1. Klien menarik diri yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal.

  2. Klien dengan kerusakan komunikasi verbal yang telah berespon sesuai dengan stimulus.

    1. Sasaran dan keanggotaan TAK dan TAKS

Pada umumnya yang menjadi sasaran dari terapi kelompok (TAK) adalah yang memiliki masalah yang sama. Dalam psikoterapi yang intensif kelompok yang heterogen lebih menguntungkan dimana anggotanya terdiri dari berbagai macam kelompok umur, jenis kelamin dan kepribadian. Sedangkan kelompok psikoterapi yang lain adalah kelompok homogen yang anggotanya mempunyai kebiasaan yang sama misalnya homoseksual, alkoholis, ada kecenderungan setiap anggota mendiskusikan masalah yang sama ayau mendukung anggota yang lain. Keanggotaan sebuah terapi kelompok mempunayai beberapa persyaratan:

  1. Sudah ada diagnosa atau suatu hasil observasi yang jelas.

  2. Sudah tidak terlalu gelisah, agresif, inkoheren, dan waham yang tidak terlalu berat sehingga dapat kooperatif dan tidak mengganggu berlangsungnya terapi kelompok.

Persyaratan pada pasien rehabilitasi: Perlu ditentukan target kelompok untuk setiap anggota disamping untuk adanya target terapi yang bersifat kelompok. Target kelompok untuk setiap bulan adalah:

    1. Selama rehabilitasi anggota didorong, mereka yang bersifat pasif perlu dibangkitkan.

    2. Selama rehabilitasi anggota didorong untuk mengikuti aktivitas yang lebih baik atau terampil

    3. Sesudah rehabilitasi targetnya adalah bagaimana agar anggota bisa menghadapi hidup sosial dengan keluarga dan masyarakat umum.

    4. Perlu adanya rating scale bagi setiap pasien untuk mencapai target.

TAKS digunakan untuk memantau dan meningkatkan hubungan interpersonal dengan karakteristik: klien yang kurang minat mengikuti kegiatan atau tidak ada inisiatif, menarik diri dan kurang kegiatan sosial, harga diri rendah, klien gelisah, curiga, takut, cemas, dan sudah dapat membina serta mau melanjutkan interaksi sosial dengan baik.

    1. Masalah keperawatan

Diagnosis keperawatan yang mungkin timbul dapat dikenali melalui pengkajian terhadap efek perilaku kelompok dan perilaku diri terhadap anggota kelompok. Kemudian dianalisis dan ditetapkan diagnosis keperawatan untuk setiap klien didalam kelompok. Diagnosis keperawatan yang mungkin terjadi meliputi:

  1. Ansietas

  2. Hambatan komunikasi verbal

  3. Koping individu tidak efektif

  4. Konflik keputusan

  5. Defisit perawatan diri.

  6. Kurang pengetahuan

  7. Respon pascatrauma

  8. Gangguan harga diri

  9. Gangguan interaksi sosial

  10. Penatalaksanaan program pengobatan individu takefektif.

    1. Pengorganisasian TAK

Perawat dapat bertugas sebagai leader, co leader, fasilitator dan observer. Tetapi untuk kelompok yang telah melakukan aktivitas secara teratur, klien yang sudah kooperatif dan stabil dapat berperan sebagai co leader, fasilitator, observer, bahkan sebagai leader. Perawat sebagai terapis perlu mengarahkan.

1. Terapis (perawat)

  1. Leader

Sebagai leader: Fitria Ulfa

Peran dan fungsi :

    1. Menyusun rencana aktivitas kelompok ( proposal ).

    2. Mengarakan kelompok dalam mencapai tujuan.

    3. Memfasilitasi setiap anggota untuk mengekspresikan perasaan, mengajukan pendapat dan memberikan umpan balik.

    4. Sebagai ” role model ”.

    5. Memotifasi setiap anggota untuk mengemukakan pendapat dan memberikan umpan balik

  1. Co Leader

Sebagai co leader: Nantya Pupuh S

Peran dan fungsi: Membantu Leader dalam mengorganisasikan anggota kelompok.

  1. Observer

Sebagai observer: Erni,

Peran dan fungsinya:

    1. Mengobservasi semua respon klien.

    2. Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku klien.

    3. Memberikan umpan balik kepada kelompok.

  1. Fasilitator

Sebagai fasilitator: Dian, Tetik, Yuyun, Isna, Irma.

Peran dan fungsinya:

    1. Membantu Leader memfasilitasi anggota untuk berperan aktif dan memotivasi anggota.

    2. Memfokuskan kegiatan.

    3. Membantu mengkoordinasi anggota kelompok.

  1. Seleksi klien

Seleksi dilaksanakan dua hari sebelum pelaksanaan TAKS dan berdasarkan kepada status klien atau pasien yang ada di ruang jiwa C RSUD Ora Waras.

  1. Nama klien dan kasusnya

    1. Ibu R, umur 25 tahun dengan diagnosa menarik diri karena ditinggal selingkuh sang suami yang telah dinikahi selama 7 tahun.

    2. An. C, anak perempuan berusia 17 tahun dengan diagnosa menarik diri setelah pengasuhnya dari kecil meninggal.

    3. Nn.N, 21 tahun dengan diagnosa menarik diri setelah mengalami kegagalan dalam suatu kompetisi.

    4. Nn. L, berusia 18 tahun. Klien memiliki riwayat trauma psikis akibat gagal audisi ‘star Dut’

    5. Tuan I, berusia 30 tahun, lulusan pesantren di pelosok desa. Ia mengalami konflik keyakinan akibat adanya perbedaan keyakinannya dengan realita di masyarakat saat ini.

  2. Waktu dan tempat

    1. Waktu: Senin, 17 Maret 2008

    2. Tempat: Aula R. Jiwa C RSUD Ora Waras

    1. Kriteria Evaluasi

  1. Evaluasi struktur

    • Kehadiran anggota kelompok 100%

    • Terapis dan setiap anggota kelompok mampu menjelaskan fungsi dan perannya dengan baik.

  2. Evaluasi proses

    • Evaluasi kemampuan klien memperkenalkan diri secara verbal maupun non verbal.

    • Evaluasi kemampuan klien berkenalan.

    • Evaluasi kemampuan bercakap-cakap

    • Evaluasi kemampuan menyampaikan dan membicarakan topik percakapan.

    • Evaluasi kemampuan menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain.

    • Evaluasi kemampuan bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok.

    • Evaluasi kemampuan menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

  3. Evaluasi hasil

    • Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAKS

    • Memberi pujian atas keberhasilan kelompok

    1. Manfaat dan Kekurangan TAK

      1. Manfaat TAK

  1. Dapat mengobati klien dalam jumlah banyak.

  2. Anggota kelompok dapat mendiskusikan masalah-masalah mereka, sehingga menurunkan perasaan terisolasi, perbedaan-perbedaan, dan meningkatkan klien untuk berpartisipasi dan bertukar pikiran, masalah dengan orang lain.

  3. Memberikan kesempatan kepada klien untuk mengali gaya-gaya berkomunikasi dari klien dalam lingkungan yang aman dan mampu menerima unpan balik dari orang lain.

  4. anggota kelompok dapat belajar bermacam cara dalam memecahkan masalah, serta dapat membantu memecahkan masalah orang lain.

  5. Anggota kelompok dapat belajar peranannya dalam kelompoknya (sebagai anggota, membantu terapis).

  6. Kelompok dapat menimbulkan pemahaman/pengertian, konfrontasi, identifikasi, kelompok rujukan.

      1. Kekurangan TAK

              1. Kehidupan pribadi klien tidak terlindungi.

              2. Klien mengalami kesulitan dalam mengungkapkan masalahnya karena berbeda keyakinan atau sulit dalam berkomunikasi, tidak mau berubah.

              3. Jika terapis menyelenggarakan secara individual.

SESI 1 :TAKS

Kemampuan Memperkenalkan Diri

Tujuan:

Klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan: nama lengkap, nama panggilan, asal dan Hobi.


Setting:

  1. Klien dan terapis dudik bersama dalam lingkaran.

  2. Ruangan nyaman dan tenang.

Alat:

    1. Laptop dan speaker

    2. Bola (kelereng) dan sendok

    3. Buku catatan dan pulpen

    4. Jadwal kegiatan klien

Metode:

  1. Dinamika kelompok

  2. Diskusi dan tanya jawab

  3. Bermain peran/stimulasi

Langkah Kegiatan:

  1. Persiapan

    1. Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu isolasi sosial:menarik diri dan kerusakan verbal.

    2. Membuat kontrak dengan klien

    3. Mempersiapkan alat dan tempat pertemuan

  2. Orientasi

Pada tahap ini terapis melakukan:

    1. Memberi salam terapeutik: salam dari terapis

    2. Evaluasi/Validasi: menanyakan perasaan klien saat ini, menanyakan apakah ada yang ingin ke kamar mandi.

    3. Kontrak:

      1. Menjelaskan tujuan kegiatan, yaitu memperkenalakan diri dan mendengarkan musik.

      2. Menjelaskan aturan main

        • Jika ada klien yang akan meninggalkan kelompok harus minta izin kepada terapis.

        • Lama kegiatan 45 menit.

        • Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.

  1. Tahap Kerja

    1. Jelaskan kegiatan, yaitu lagu akan dimainkan lewat tape recorder, serta bola akan diedarkan berlawanan dengan arah jarum jam (ke arah kiri) dan pada lagu berhenti maka anggota kelompok yang memegang bola memperkenalkan dirinya.

    2. Perdengarkan lagu dan edarkan bola berlawanan denagn arah jarum jam.

    3. Pada saat lagu berhenti dimainkan, anggota kelompok yan memegang bola mendapat giliran untuk menyebutkan salam, nama lengkap, nama panggilan, hobi dan asal, dimulai terapis sebagai contoh.

    4. Tulis nama panggilan pada papan nama dan pakai.

    5. Ulangi b,c dan d sampai semua anggota kelompok mendapat giliran.

    6. Beri pujian tiap anggota kelompok denagn tepuk tangan.

  2. Tahap Terminasi

  1. Evaluasi

    1. Menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.

    2. Memberi pujian atas keberhasilan kelompok

  2. Rencana tindak lanjut

    1. Menganjurkan tiap anggota kelompok melatih memperkenalkan diri kepada orang lain di kehidupan sehari-hari.

    2. Memasukkan kegiatan memperkenalkan diri pada jadwal kegiatan harian klien

  3. Kontrak yang akan datang

    1. Menyepakati kegiatan berikut, yaitu berkenalan dengn anggota kelompok

    2. Menyepakati waktu dan tempat.

  1. Evaluasi dan Dokumentasi

Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlangsung khususnya pada tahap kerja dengan menggunakan form evaluasi.

FORM EVALUASI TAKS

  1. Kemampuan verbal

b. Kemampuan non-verbal

No.

Aspek yang dinilai

Nama Klien

Ibu R

An. C

Nn N

Nn. L

Tn. I

1.

Menyebutkan nama lengkap






2.

Menyebutkan nama panggilan






3.

Menyebutkan asal






4.

Menyebutkan hobi






Jumlah






No.

Aspek yang dinilai

Nama Klien

Ibu R

An. C

Nn N

Nn. L

Tn. I

1.

Kontak mata






2.

Duduk tegak






3.

Mengunakan bahasa tubuh yang sesuai






4.

Menyebutkan hobi






Jumlah







Makalah Jiwa 2 (JIWA USILA)

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Usila (Usia lanjut)

Menurut UU No. 13 Th. 1998 tentang Kesejahteraan lanjut usia, yang dimaksud dengan lanjut usia ialah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Lanjut usia meliputi :

  1. Usia pertengahan (Middle Age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun

  2. Usia lanjut (Elderly) = antara 60 – 70 tahun

  3. Usia lanjut tua (old) = antara 75 – 90 tahun

  4. Usia sangat tua (very old) = diatas 90 tahun

2.2 Perubahan dalam Fisik

2.1.1 Sel tubuh
1. Jumlah sel tubuh akan semakin sedikit jumlahnya.
2. Sementara ukuran sel tersebut akan lebih besar.
3. Berkurangnya jumlah cairan tubuh dan cairan intraseluler.
4. Menurunnya proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah dan hati.
5. Jumlah sel
pada otak cenderung menurun.
6. Mekanisme perbaikan sel yang mulai terganggu.
7. Otak akan mengalami pengurangan volume dan beratnya berkurang antara 5 sampai 10 persen.

2.2.2 Panca Indra

- Sistem penglihatan:
1. Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respon terhadap sinar.
2. Kornea mata yang lebih berbentuk bola atau sferis.
3. Kekeruhan lensa yang menyebabkan katarak.
4. Berkurangnya daya adaptasi terhadap kegelapan dan susah melihat dalam gelap.
5. Menurunnya kemampuan membedakan warna biru dan hijau.
6. Berkurangnya luas pandangan.

7.Hilangnya daya akomodasi

- Sistem pendengaran:
1.
Presbiakusis (gangguan pada pendengaran)

Hilangnya kemampuan (daya) pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi suara yang tidak jelas, sulit mengerti kata – kata. 50 % terjadi pada usia diatas umur 65 tahun.

2. Otosklerosis, yaitu perubahan abnormal formasi tulang di sekitar telinga yang menyebabkan berkurangnya respon atas suara dan secara akumulatif akan menyebabkan kehilangan pendengaran.

3. Menurunnya pendengaran diperparah dengan ketegangan jiwa atau stress yang mungkin dialami.

4. Terjadinya pengumpulan cerumen, dapat mengeras karena meningkatnya keratin

Perubahan system indera pada penuaan

Perubahan morfologis

Perubahan fisiologis

Penglihatan

1. Penurunan jaringan lemak sekitar mata

2. Penurunan elastisitas dan tonus jaringan

3. Penurunan kekuatan otot mata

4. Penurunan ketajaman kornea

5. Degenerasi pada sclera, pupil, dan iris

6. Peningkatan frekuensi proses terjadinya penyakit

7. Peningkatan densitas dan rigiditas lensa

8. Perlambatan proses informasi dari system saraf pusat

1. Penurunan penglihatan jarak dekat

2. Penurunan koordinasi gerak bola mata

3. Distorsi bayangan

4. Pandangan biru-merah

5. Compromised night vision

6. Penurunan ketajaman mengenali warna hijau, biru dan ungu

7. Kesulitan mengenali benda yang bergerak

Pendengaran

1. Penurunan sel rambut koklea

2. Perubahan telinga dalam

3.Degenerasi pusat pendengaran

4. Hilangnya fungsi neurotransmiter

1. Kesulitan mendengar suara berfrekuensi tinggi

2. Penurunan kemampuan membedakan pola titik nada

3. Penurunan kemampuan dan penerimaan bicara

4.Penurunan fungsi membedakan ucapan

Pengecap

Penurunan kemampuan pengecapan

Peningkatan nilai ambang untuk identifikasi benda

Peraba

1.Penurunan kecepatan hantaran saraf


1. Penurunan respon terhadap stimulus taktil

2. Penyimpangan persepsi nyeri

3. Risiko terhadap bahaya termal yang berlebihan

Sumber : Bonder & Wagner,1994


2.2.3 Sistem Syaraf (otak)
1. Menurunnya hubungan antar syaraf.
2. Lambatnya respon dan waktu reaksi, khususnya terhadap stres.
3. Mengecilnya syaraf panca indera yang mengakibatkan berkurangnya fungsi panca indera, seperti berkurangnya kemampuan penglihatan dan pendengaran, lebih sensitif terhadap perubahan suhu dan rendahnya ketahanan tubuh
pada suhu udara yang rendah.
4. Kurang sensitif terhadap sentuhan

Perubahan system saraf pada penuaan

1. Atrofi serebrum

2. Peningkatan cairan serebrospinal

3. Kematian dendrite

4.Peningkatan granula lipofusin

5. Penurunan keefektifan system neurotransmitter

6. Penurunan sirkulasi darah otot

7.Penurunan penggunaan glukosa

8. Perubahan pada elektroensefalogram

9. Berkurangnya serabut saraf motorik

10. Penurunan kecepatan konduksi saraf

Sumber : Bonder & Wagner,1994

2.2.4 Sistem Respirasi (paru)

  1. Otot – otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku

  2. Menurunnya aktifitas dari silia

  3. Paru –paru kehilangan elastisitas :

Kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun.

  1. Alveoli ukurannya melebar ari biasa dan jumlahnya berkurang

  2. O2 pada arteri menurun menjadi 75 mmHg

  3. CO2 pada arteri tidak berganti

  4. Kemampuan untuk batuk berkurang.

Perubahan system respirasi pada penuaan

Toraks

Perubahan Morfologis dan Struktur

Perubahan Fungsional

1. Klasifikasi pada bronkus dan kartilago kosta

2. Peningkatan kekakuan sendi kosto-vertebralis

3. Peningkatan diameter antero-posterior

4. Peningkatan kerja otot pernafasan penggunaan otot bantu pernafasan

1. Peningkatan tahanan dinding dada

2. Penurunan keefektifan

3. Penurunan volume tidal

4. Peningkatan exercise-induce hyperpnea

5. Penurunan ventilasi sadar maksimal

6. Penurunan kekutan batuk

7. Peningkatan risiko aspirasi


Paru

Perubahan Morfologis dan Struktur

Perubahan Fungsional

1. Peningkatan ukuran duktus alveolus

2. Penurunan jaringan penyokong

3.Peningkatan ukuran alveolus

4.Peningkatan kerja glandula mukosa

5. Peningkatan pemenuhan alveolar

1. Penurunan area pertukaran gas

2. Peningkatan ruang rugi fisiologis

3. Penurunan elastisitas regangan paru

4. Penurunan kapasitas vital paru

5.Penurunan volume cadangan inspirasi

6. Peningkatan volume cadangan ekspirasi

7. Peningkatan volume residu dan volume residu fungsional

8. Penurunan arus ventilasi paru

9. Penurunan distribusi ventilasi

10. Peningkatan penutupan aliran udara bebas

11. Peningkatan desaturasi arterial

12. Peningkatan tahanan terhadap aliran udara pada saluran udara yang kecil

13. Pengurngan jaringan kapiler

14. Penurunan distribusi perfusi

15. Peningkatan hambatan kapasitas difusi

16. Peningkatan jaringan ikat pada tunika intima kapiler

17. Penurunan ventilasi untuk perfusi yang sebanding

Sumber : Bonder & Wagner,1994

2.2.5 Sistem Gastrointestinal

  1. Kehilangan gigi :

Penyebab utama adanya Periodontal disease yang biasa terjadi setelah umur 30 tahun, penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk,

  1. Indera pengecap menurun

Adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir, atropi indera pengecap (± 80 %), hilangnya sensitivitas dari saraf pengecap di lidah terutama rasa manis, asin dan pahit

  1. Esophagus melebar

  2. Lambung :

Rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun ), asam lambung menurun, waktu mengosongkan menurun.

  1. Peristaltic lemah dan biasanya timbul konstipasi

  2. Fungsi absorbsi melemah (daya absorbs terganggu)

  3. Liver (hati) :

Makin mengecil dan menurunnya tempat penyimpanan, berkurangnya aliran darah.

2.2.6 Sistem kulit
1. Kulit mulai mengkerut dan keriput karena kehilangan jaringan lemak.
2. Kulit yang bersisik karena proses keratinisasi atau berkurangnya protein di bawah kulit.

3. Berkurangnya elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan vaskularisasi
4. Rambut yang menipis dan berubah warna.
5. Pertumbuhan kuku yang lebih lambat, keras, rapuh dan kurang bercahaya.

6. Kuku kaki tumbuh secara berlebihan dan seperti tanduk

7. Kelenjar keringat berkurang jumlah dan fungsinya.

Perubahan kulit pada penuaan

Perubahan morfologis

Perubahan fungsional

1. Peningkatan pigmentasi

2. Atrofi epidemis, glandula sebasea, glandula sudrifera, dan folikel rambut

3. Degenerasi kolagen dan elastin

4. Peningkatan viskositas aliran darah

5. Mutasi somatis

6. Pengurangan jaringan subkutan

7. Pengurangan lemak

1.Kulit mengelupas, tipis, kering, keriput dan mudah pecah

2. Cenderung terjadi bercak senilis berwarna merh ungu

3. Atrofi kuku, perubahan warna rambut abu – abu / putih

Sumber : Bonder & Wagner,1994

2.2.7 Saluran Kemih
1. Ginjal :

Mengecil dan nephron menjadi atropi, aliran darah ke ginjal menurun sampai 50%, penyaringan di glumerulo menurun sampai 50% , funsi tubulus berkurang akibatnya; kurangnya kemampuan mengkonsentrasikan urin, berat jenis urin menurun proteinuria ( biasanya + 1 ); BUN (Blood Urea Nitrogen) meningkat sampai 21 mg%; nilai ambang ginjal terhadap glukosa meningkat.

2. Vesika Urinari / kandung kemih :

Otot – otot menjadi lemah, kapasitasnya menurun sampai 200 ml atau menyebabkan frekuensinya buang air seni meningkat, vesika urinaria susah dikosongkan pada pria lanjut usia sehingga mengakibatkan meningkatnya retensi urin.

3. Pembesaran prostate ± 75% dialami oleh pria usia diatas 65 tahun.

4. Atrovi vulva.

5. Vagina :

Selaput lendir menjadi kering elastisitas jaringan menurun, juga permukaan menjadi halus; sekresi menjadi berkurang, reaksi sifatnya lebih alkali; terjadi perubahan-perubahan warna.

6. Daya seksual :

Orang-orang yang makin menua masih juga membutuhkannya; tidak ada batasan umur tertentu dimana fungsi seksual seseorang berhenti; frekuensi seksual intercourse cenderung menurun secara bertahap tiap tahun, tetapi kapasitas untuk melakukan dan menikmati berjalan terus sampai tua.

2.2.8 Otot dan Tulang

Perubahan pada system musculoskeletal anatara lain sebagai berikut.

  1. Jaringan penghubung( kolagen dan elastin).

Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon, tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linier pada jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas pada jaringan tubuh.Setelah kolagen mencapai puncak fungsi atau daya mekaniknya karena penuaan, tenslle strength dan kekakuan dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan.

Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan, dan hambatam dalam melakukan aktifitas sehari-hari. Upaya fisioterapi untuk mengurangi dampak tersebut adalah memberikan latihan untuk menjaga mobilitas.

  1. Kartilago

Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata. Selajutnya, kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks mengalami deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya, dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami klasifikasi di beberapa tempat, seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif, tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai permukaaan sendi yang berpelumas. Konsekuensinya, kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktifitas sehari-hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, dapat diberikan teknik perlindungan sendi.

  1. Tulang

Kurangnya kepadatan tulang, setelah diobservasi, adalah bagian dari penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali. Sebagai akibat perubahan itu, jumlah tulang spongiosa berkurang dan tulang kompakta menjadi tipis. Perubahan lain yang terjadi adalah penurunan ekstrogen sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Haversi sehingga tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara keseluruhan menyebabkan kekuatan dan kekakuan tulang menurun.

Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri, deformitas, dan fraktur. Latihan fisik dapat diberikan sebagai cara untuk mencegah terjadinya osteoporosis.

  1. Otot

Perubahan struktur otot pada penuaan sanagt bervariasi. Perunan jumlah dan ukuran serabut oto, peningkatan jarring penghubung, dan jaringan lemak pada oto mengakibatkan efek negative. Secara morfologis, perubahan otot pada penuaan tertera pada table 2-1.

Tabel 2-1 Perubahan morfologis otot pada penuaan

  1. Penurunan jumlah serabut otot

  2. Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak teratur, dan hipertrofi pada beberapa serabut otot yang lain.

  3. Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast twitch)

  4. Penumpukan lipofusin

  5. Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung

  6. Adanya ringbinden

  7. Adanya badan sitoplasma

  8. Degenerasi myofibril

  9. Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot

(Sumber : Bonder & Wagner, 1994, hlm. 43)


Dampak perubahan morfologis otot adalah penurunan kekuatan, penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi, dan penurunan kemampuan fungsional otot. Untuk mencegah perubahan lebih lanjut, dapat diberikan latihan untuk mempertahankan mobilitas.

  1. Sendi

Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligament, dan fasia mengalami penurunan elasistisitas. Ligamen, kartilago, jaringan periartikular mengalami penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan klasifikasi pada kartilago dan kapsul sendi. Sendi kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi penurunan luas gerak sendi.

Beberapa kelainan akibat perubahan pada sendi yang banyak terjadi pada lansia antara lain osteoarthritis, arthritis rheumatoid, gout, dan pseudogout. Kelainan tersebut dapat menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, keterbatasan luas gerak sendi, gangguan jalan, dan aktifitas ke seharian lainnya.Upaya mencegah kerusakan sendi antara lain dengan memberi teknik perlindungan sendi dalam beraktifitas.





2.3 Perubahan Psikologi

2.3.1 Paranoid

- Definisi

waham terjadinya secara sekunder (seringkali ada hubungannya dengan halusinasi yang dihayati). Penderita dapat menceritakan semua wahamnya secara sistematik, sebab itu dapat dirabarasakan oleh si pemeriksa. Waham semacam ini baru terjadi pada usia lanjut. Tak pernah dijumpai perpecahan kepribadian. Afek penderita biasanya menyertai pada waham yang dihayati dan bila penyakit ini berjalan sejajar dengan proses sistematik/kelainan organik, maka dikatakan: sindroma ini merupakan sindroma paranoid -- halusinatoar yang berlandaskan kelainan sistemik (psikosis simtomatik).

- Etiologi

Sindroma ini seringkali diakibatkan oleh isolasi sosial yang dialami para usia lanjut. Karena itu perlu ditekankan, agar para usia lanjut ini sedapat mungkin dirawat di lingkungannya sendiri.

- Manifestasi / gejala

Simptom utamanya adalah adanya delusi persecusion dan grandeur, dimana individu merasa dikejar-kejar. Hal tersebut terjadi karena segala sesuatu ditanggapi secara sensitif dan egosentris seolah-olah orang lain akan berbuat buruk kepadanya. Oleh karena itu, sikapnya terhadap orang lain agresif. Delusi tersebut diperkuat oleh halusinasi penglihatan dan pendengaran, misalnya terlihat wajah-wajah yang menakutkan, terdengar suara mengancam, dan sebagainya sehingga timbul reaksi menyerang atau agresi karena terganggu. Hal-hal tersebut juga bisa mendorong penderita untuk membunuh orang lain atau sebaliknya bunuh diri, sebagai usahanya untuk menghindari delusi persecusion Terdapat kecenderungan homoseksualitas, dimana penderita laki-laki akan mengancam laki-laki dan penderita perempuan akan mengancam perempuan. Kebanyakan penderita usia lanjut pada kasus ini mengalami kelainan atau gangguan kepribadian.

- Penatalaksanaan

  • Pengobatan

Perlu ditekankan di sini, bahwa penanganan penderita usia lanjut agak berbeda dengan perawatan penderita yang lain. Ini karena setiap orang yang berusia lanjut telah mengalami kemunduran tidak hanya di bidang fisik, tapi juga mentalnya. Metabolisme obat-obatan pun agak berbeda, sejak dari absorbsi, distribusi, detoksifikasi di alat-alat dalam, maupun ekskresinya. Kondisi fisik dari individu tadi harus diperiksa dengan seksama, sebelum terapi dengan psikotropik diberikan. Pendekatan terapeutik yang umum bagi penderita gangguan mental masih tetap dapat diaplikasikan, sehingga dapat dicapai hasil yang maksimal. Pendekatan tersebut mencakup:

Pengobatan secara organobiologik :

a). Pemberian obat-obat Pedoman

1. Timbanglah manfaat dan risikonya dengan memperhi- tungkan prinsip "Primum est non nocere"

2. Gunakanlah pertama-tama obat yang paling established, dan kenalilah obat pilihan ini untuk setiap indikasi

3. Gunakanlah obat pilihan yang anda ketahui paling baik

4.Batasilah pemberian jenis obat seminimal mungkin

5. Sesuaikanlah dosis obat pada setiap penderita

6.Gunakanlah dosis efektif terkecil

7. Pilihlah cara pemberian obat yang paling aman, tanpa mengurangi efektivitasnya

8. Janganlah memilih preparat terbaru, karena barunya

9. Janganlah ketinggalan menggunakan obat baru yang (lebih) baik

10. Cocokkanlah kebenaran data promosi pabrik obat.

Selain itu, masih ada beberapa hal kecil yang perlu diperhati kan:

  • Jangan tergesa-gesa memberikan obat simtomatik pada para penderita lanjut usia, tanpa mengetahui penyebab yang mendasari gejala tadi (banyak penderita yang sudah terbiasa meminum suatu obat, bila dihentikan pemakaiannya justru mengakibatkan gejala ketergantungan)

  • Hindarilah pemakaian obat-obat perangsang, karena akan berakibat habituasi dan dependency

  • Bila dengan pemakaian obat baru (tambahan obat) penderita menunjukkan gejala kemunduran, sebaiknya pemberian obat tadi dihentikan. Karena kita harus waspada terhadap efek sampingnya yang mungkin masih belum pernah tertulis dalam literatur

  • Semua obat harus secepat mungkin dihentikan pemakaiannya, apabila sudah tidak diperlukan lagi. Untuk ini, dianjurkan agar diadakan review dalam pemberian obat-obat tadi secara rutin

(b) Pengobatan di bidang fisik

Pada banyak orang berusia lanjut, diperlukan latihan-latihan fisik tertentu untuk mempertahankan kesegaran jasmani mereka. Tetapi, terapi fisik yang dimaksudkan di bidang psikiatrimencakup : insulin coma therapy, sleep therapy, psycho surgery, cardiazol shock therapy dan electroconvulsive therapy.

Di Indonesia, terapi di atas sudah tidak dilakukan lagi; hanya terapi dengan ECT masih kadang-kadang dipergunakan denganindikasi yang sangat ketat dan tepat.

Terapi psikologik

Biasanya dilakukan psikoterapi jenis sugestif - suportif. Seringkali diperlukan pula counseling therapy yang menyangkut keluarga maupun teman-teman terdekatnya. Demikian pula Group therapy kadang-kadang membawa basil yang baik. Saat ini, telah pula diamalkan Goldfarb Brief Psychotherapy, yakni jenis psikoterapi yang dilaksanakan secara singkat, dan dalam waktu-waktu tertentu secara periodik.

Pendekatan di bidang sosio budaya

Seringkali diperlukan environmental manipulation untuk memperbaiki lingkungan penderita (jangan sampai terisolir/ditelantarkan). Keadaan fisik maupun kebersihan dari penderita perlu mendapat perhatian yang optimal (antara lain keadaan gizinya). Di antara para penderita tadi, tentunya ada pula yang memerlukan penanganan khusus dan perawatan dalam institut tersendiri, untuk itu indikasinya adalah:

1. Bila perilaku penderita sangat membahayakan dirinya atau lingkungannya. Sudah tentu keadaan semacam ini sulit diatasi oleh keluarga maupun lingkungannya.

2. Apabila sikap keluarga terdekat (yang sehari-hari berhubungan dengan penderita) tidak menguntungkan si penderita, atau malah merugikannya. Misalnya: menelantarkan, sering memarahi penderita, menganggap penderita beban aib dan sebagainya.

2.3.2 Gangguan Tingkah Laku

Definisi

Gangguan tingkah laku adalah masalah yang paling dapat dibedakan melalui tingkat pelanggaran yang berulang dan persisten terhadap hak asasi orang lain. (Rencana Asuhan Keperawatn Psikiatri)


Manifestasi Klinis

  • Kehilangan harga diri

  • Kehilangan peran

  • Merasa tidak berguna / tidak berdaya

  • Merasa sepi

  • Kurang percaya diri

  • Sifat buruk bertambah

  • Pelupa

Penatalaksanaan

  1. Pertolongan pertama untuk mengatasi gangguan tingkah laku

Membnatu klian lanjut usia memahami dan manyatakan perasaan positif dan negative yang menyangkut dirinya, orang lain dan apa yang terjadi

  1. Peralihan pelaksanaan diri sendiri

Untuk meningkatkan harga diri:

  1. Teruskan melangkan waktu untuk klien lanjut usia sehari-hari

  2. Gunakan pertanyaan terbuka untuk mengekspresikan perasaan klien lanjut usia

  3. Jangan katakan padA aklien lanjut usia bahwa ia tidak sesedih seperti apa yag ia rasakan, pendekatan ini hanya akan mengatkan perasaanklien lanjut usia bahwa tidak seseorsngpun yang mengerti

  4. Puji klien lanjut usia karena keterlibatan dalam menolong dirinya atau aktifitas lainnya

  1. Menolong sesama dengan tujuan membantu klien lanjut usia secara tepat

  1. Yakin bahwa setipa orang sadar akan tanggunga jawab mereka untuk tidak memperberat ketika klien sedang merasa sedih sepanjang waktu

  2. Menganjurkan pada staf atau orang-orang penting lainnya untuk memuji klien lanjut usia dalam usahanya serta aktivitas lainnya

  3. Membantu staf dalam usahanya untuk mamaksa klien lanjut usia berbicara, arahkan mereka untuk member perhatian kepada klien lanjut usia sebanyak mungkin.

2.3.3 Wondering

Definisi :

Wandering adalah suatu bentuk gangguan tingkah laku dari penyakit Alzheimer yang terjadi pada pasien lansia, prilakunya berupa pasien terus menerus membuntuti kemanapun pengasuhnya pergi, mengelilingi rumah atau halaman, sepanjang hari mencuci-menjemur berulang-ulang, melipat-lipat kain, berjalan kian kemari tanpa tujuan, berkeluyuran di malam hari, bahkan kabur dari rumah dan tidak dapat kembali ke rumahnya (tersesat atau kesasar). Kadang-kadang dapat terjadi perilaku yang agitatif, agresif, memalukan, dan ketidakstabilan emosi.


Etiologi

Perubahan zat-zat kimia di otak (neurotransmitter) maupun mengkerutnya volume otak atau kerusakan sel-sel otak akan menyebabkan beberapa fungsi otak terganggu. Kemampuan mengingat, menghitung, berbahasa, merencanakan, memutuskan, menyelesaikan persoalan, mengenali tempat-waktu-orang atau benda, mengendalikan emosi dan melakukan tindakan tertentu menjadi terganggu. Gangguan perilaku ini juga disebabkan karena kepribadian pasien yang pramorbid, ketahanan (resilience) pasien terhadap perubahan hidup yang terjadi. Perubahan lingkungan (perilaku pengasuh) yang dapat mencetuskan gangguan perilaku wandering pada pasien demensia adalah sering mengubah rutinitas pasien secara tiba-tiba, meminta pasien melakukan sesuatu di luar kemampuannya, sering mengkritik pasien, kurang memperhatikan kebutuhan pasien, atau cerewet pada pasien.

Terapi

Penting untuk mencari tahu pencetus gangguan perilaku, apakah didasari oleh rasa nyeri fisik (luka punggung, sariawan), adakah hubungan perilaku dengan aktivitas tertentu (makan, mandi, sikap pengasuh). Penanggulangan gangguan perilaku wandering biasanya berupa intervensi non farmakologis, sedangkan untuk terapi farmakologis dilakukan untuk demensia itu sendiri. Tindakan memberikan keyakinan pada pasien tentang dimana keberadaannya saat ini, mengapa pasien sampai berada di situ,dan menanyakan pasien hendak pergi kemana. Jika pasien mampu membaca, berikan secarik kertas yang berisi tulisan “tetap tenang dan jangan pergi kemana-mana”, ingat cantumkan juga nomor telepon yang bisa dihubungi pasien. Jika wandering terjadi di pertokoan mintalah pasien untuk diam di sudut tertentu, katakan padanya dia akan dijemput di tempat itu. Pemberian gelang pengenal (hendaya memori) dapat mempermudah penolong untuk mengenali pasien. Perlu diperhatikan keleluasaan pasien untuk bergerak di dalam dan di luar ruangan, mengurangi kecemasan, dan adaptasi lingkungan yang adaptif.


Peran keluarga/pengasuh usila dengan wondering :

Pengasuh pasien yang mengalami wandering pada kasus demensia merupakan factor penting dalam melakukan terapi. Dokter, perawat beserta keluarga membuat perencanaan dan evaluasi terapi yang cocok untuk menanggulangi gangguan perilaku pasien. Seorang pengasuh sebaiknya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai tentang kepribadian yang matang, hubungan interpersonal yang baik dengan pasien atau anggota keluarga yang lain dan sehat secara fisik dan mental. Idealnya seorang caregiver mampu berempati, ekspresif, bersikap peduli, hangat, pasien sebagai individu yang mempunyai perasaan, dapat mengenali keterbatasan dirinya, kreatif dan memiliki kemampuan kuat untuk menyelesaikan masalah.

2.3.4 Sun Downing

Definisi

Sun downing mengarah kepada kebiasaan yang cenderung menjadi khawatir menjelang senja dan malam hari ketika suasananya menjadi gelap. Sun downing bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan gejala yang sering terjadi pada pasien demensia, seperti penyakit alzeimer.

( www.associatedcontent.com )

Sun downing biasanya timbul pada pertengahan penyakit demensia dan perlahan menjadi sangat progresif. Apabila dementia semakin parah, mengarah kepada alzaimer pasien menjadi kehilangan memori, kehilangan bahasa untuk komunikasi, emosinya menjadi tidak stabil, Tidak mampu berinteraksi social, dan kehilangan untuk bisa menjadi seseorang yang normal. Apabila terjadi komplikasi bisa berakhir dengan kematian

Etiologi

Kelemahan fungsi otak, dan akan semakin diperparah jika orang tersebut mengalami :

Kelelahan / capek

Keadaan ruangan yang gelap/ kurangnya penerangan

Bertambahnya pikiran/ banyaknya bayangan–bayangan yang menggangu.

Manifestasi klinis

Pada pasien yang mengalami sun downing biasanya menunjukkan gejala-gejala, antara lain :

Suka melebih-lebihkan sesuatu di luar kenyataan

Mudah menjadi cemas, atau tingkat kecemasannya tinggi

Kata-kata/ pendapatnya suka di dengarkan orang lain, tetapi ia tidak suka menerima alasan orang lain

Hiperaktif

Penatalaksanaan

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien yang mengalami sun downing, antara lain:

Menyediakan lingkungan yang tenang.

Memberikan penerangan / lampu yang cukup pada sore dan malam hari.

Jangan mencoba membuat alasan dengan pasien sun downing

Jangan manahan/restrain pasien tersebut

Berikan makanan yang bergizi dan aturlah supaya pola makan pasien teratur. Dan yakinkan pasien untuk mau makan dan menghabiskannya.

Jaga dan atur supaya proses eliminasi urin dan fekalnya bisa berlangsung normal, sehingga tidak ada masalah.

Buatlah supaya pasien memanggil kita dengan nama kita, jangan memanggil dengan sebutan mbak, ibu, atau nurse

Tingkatkan komunikasi, sehingga pasien bisa berkomunikasi dengan lancar kepada orang lain.

( www. Seokahec.org )


Pada pasien yang dirawat di rumah perawatan/ rumah sakit, usahakan agar :

Pasien membawa keluarganya yang sudah ia kenal atau barang-barang yang ia kenali, seperti: radio, photograph dll.

Usahakan untuk merawat pasien dengan perawaat dan tenaga kesehatan yang tetap, supaya ia tidak kebingungan.

Membuat lingkungan sekitar pasien terang dengan memberikan lampu yang cukup.


2.3.5 Depresi

Definisi

Emosi adalah manifestasi perasaan/afek keluar dan disertai oleh banyak komponen fisiologik, misalnya : ketakutan, kecemasan, depresi dan kegembiraan. ( W.F Maramis, 2004)

Depresi adalah gangguan emosi dimana emosi itu sudah begitu keras sehingga fungsi individu itu terganggu. ( W.F Maramis, 2004)

Depresi merupakan gangguan mood yang paling sering terjadi pada usia lanjut, dan merupakan salah satu gangguan emosi yang terjadi pada pria yang mengalami andropause. (Yundini, 2006)

Etiologi

Depresi yang terjadi pada usila dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain :

1. Faktor biologi

- Terjadi kekacauan regulasi norepinefrin dan serotonin di jaringan otak yang dapat dikoreksi oleh zat antidepresant dalam jangka waktu 2-3 minggu

- Penurunan fungsi dari organ-organ tubuh akibat proses penuaan

- Penyakit tertentu (kanker, diabetes, hipertensi, glaukoma, dll)

2. Genetik

Didapatkan fakta bahwa gangguan alam perasaan (mood) baik tipe bipolar (adanya episode manik dan depresi) dan tipe unipolar (hanya depresi saja) cenderung diturunkan. Gangguan bipolar lebih menurun daripada unipolar.

3. Psikososial

- Peristiwa traumatik kehidupan dan lingkungan sosial dengan suasana yang menegangkan dapat menjadi penyebab depresi (kehilangan keluarga atau teman karib)

- Kehilangan sumber nafkah/pekerjaan, kehilangan kedudukan sosial

- Perubahan gaya hidup.

Klasifikasi

Depresi dibagi menjadi 3 kategori :

  1. Gangguan depresi berat (mayor depresif disorder) : perasaan sedih selama 2 minggu, jemu atau lekas marah (irritable) disertai 4 gejala lain menurut kriteria DSM-IV.

  2. Gangguan distimik (dysthymic disorder) : suatu bentuk dpresi yang lebih kronis (paling tidak 1 tahun) tanpa ada bukti suatu episode depresi berat. Dahulu disebut depresi neurosis.

  3. Gangguan afektif bipolar atau siklotimik (bipolar affective illness or cyclothymic disorder) : adanya perubahan alam perasaan berupa mania atau hipomania.

Tanda dan gejala depresi

1. Komponen psikologis :

- Sedih

- Tidak berguna atau tidak berharga

- Gagal dan tidak berdaya

- Tidak ada harapan

- Putus asa dan merasa rendah diri

- Penyesalan atau merasa bersalah

2. Komponen somatik :

- Anoreksia

- Konstipasi

- Lemah

- Penurunan berat badan

- Insomnia

- Kehilangan minat pada aktivitas seksual

Penatalaksanaan

1. Psikoterapi

Memberikan pengertian pada klien dan keluarganya, kondisi gangguan apa yang sedang dihadapi. Tidak jarang disangkal oleh penderita dan keluarganya bahwa mereka sedang berhadapan dengan gangguan depresif, sampai terjadi percobaan dan tindakan suicide atau homiside.

2. Terapi keluarga

Pendekatan keluaga sangat penting dalam penatalaksanaan pada pasien usia lanjut yang mengalami depresi. Dukungan keluarga sangat dibutuhkan karena pasien usia lanjut tergantung pada keluarganya dan anggota keluarga diharapkan dapat memberikan dukungan psikologis dan dukungan dalam membantu pasien menjalani kehidupannya sehari-hari.

  1. Terapi obat (antidepresant)

    1. Thimoleptika atau anti-depresant trisiklik (mempunyai efek antidepresi dan anticemas-tegang serta anti agitasi), misalnya :

      • Imipramin : tofranil ”Geygi”, 30-150 mg

      • Amitriptilin : Laroxyl ”Roche”, Triptanol ”MSD”, Saroten Retrd ”Lundbeck”, 30-150 mg

      • Proptilin : Concordin ”MSD”,30-150 mg

alasan pemilihan trisiklik antidepresant adalah profil efeknya terutama karena tidak memiliki efek sedasi. Pengobatan yang dapat dinilai adalah pemberian trisiklik sekurang-kurangnya 4 minggu, lebih disukai 6 minggu. Jika 6 minggu tidak terdapat perubahan yang bermakna perlu dipertimbangkan penggunaan anti-depresant kelompok lain seperti Mono Amino Oxidase Inhibitor (MAIO).

    1. Thimeretika atau MAIO (mempunyai efek antidepresi dan efek aktivasi serta efek menghilangkan hambatan), misalnya :

      • Isokarboxazid : Marplan ”Roche”, 30-150 mg.

    2. Lain-lain :

      • Lithium karbonat (anti mania dan antidepresi pada psikosa manik depresif), 300-900 mg.

5. ECT (Electroconfulsif therapi, terapi kejang elektrik) efektif digunakan untuk penatalaksanaan pasien usia lanjut yang mengalami depresi.

2.3.6 Demensia

Definisi

Demensia diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Beberapa penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang menganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).

Definisi lain dari demensia adalah sebagai suatu kehilangan kemampuan kognitif secara multidemensial dan terus menerus, termasuk gangguan daya ingat, demikian pula dengan satu atau lebih dari hal berikut, yaitu afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan perencanaan, pengaturan, dan kemampuan pemikiran yang abstrak (fkui.org/tiki. 2008).

Demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebutkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku (Grayson, 2004)

Demensia adalah suatu gangguan intelektual yang umumnya progresif dan irreversibel, meningkat prevalensinya dengan bertambahnya usia (

Demensia adalah kumpulan gejala yang ditandai dengan penurunan kognitif, perubahan mood dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari penderitanya (Dwi Nurviyandari K, 2007)

Definisi demensia mengandung tiga hal pokok, yaitu: gangguan kognitif, gangguan yang melibatkan seluruh aspek fungsi kognitif dan bukan sekedar penjelasan defisit neuropsikologik dan penderita tidak mengalami gangguan kesadaran, demikian pula delirium yang merupakan gambaran yang menonjol (www.beritaiptek.com, 2007)

Etiologi

Penyebab demensia meliputi sejumlah besar keadaaan, beberapa bersifat reversibel, dan beberapa progresif, yang menyebabkan penyebaran yang luas dari kerusaklan otak atau disfungsi. Disebutkan dalam literaturbahwa penyakit yang dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia ada tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace cit Rabins, 2006). Penyebab utama demensia adalah penyakit Alzheimer, lima puluh sampai enam puluh persen disebabkab oleh Alzheimer. Selain itu, dapat disebabkan oleh penyakit vaskuler dan kemudian faktor etiologi multipleks. Penyebab lainnya adalah penyakit Pick, Hidrosefalus Normotensif, penyakit Parkinson, penyakit Huntington, trauma kepala, tumor otak, anoksia, infeksi, penyakit endokrin, penyakit Creutzfeld-Jakob, penyakit imunologik, penyalit hepar, gangguan metabolik, dan sclerosis multipleks.

Klasifikasi dan Jenis

Demensia menurut letak lesi serebral diklasifikasikan sebagai kortikal dan subkortikal. Demensia kortikal dapat ditemukan pada demensia tipe Alzheimer, penyakit Creutzfeld-Jakob, dan penyakit Pick yang sering menunjukkan afasia, agnosia, dan apraksia. Sedangkan demensia subkortikal adalah disertai dengan gangguan pergerakan, apraksia gaya berjalan, retardasi psikomotor, apati, dan mutisme akinetikyang dapat dikacaukan dengan katatonia, demansia subkortikal dapat ditemukan pada penyakit Huntington, penyakit Parkinson, Hidrosefalus tekanan normal, demensia multi infark, dan penyakit Wilson.

Menurut W.F. Maramis, demensia dibagi menjadi demensia senilis dan demensia presinilis. Pembagian ini dikaitkan dengan usia. Pembagian ini masih membingungkan karena tidak jelasnya batasan usia lanjut dengan kurang lanjut. Disamping itu, sebutan senillis dan presinilis bersifat deskriptif, sehingga diagnosisnya mudah dibuat tanpa mempertimbangkan patofisiologinya.

Dalam literatur lain demensia dibagi dalam demensia reversibel dan ireversibel.

Jenis Demensia

  • Demensia jenis Alzheimer

    1. Dengan awitan dini (usia 65 tahun)

    2. Dengan awitan lambat (usia diatas 65 tahun)

    3. Dengan delirium

    4. Dengan waham

    5. Dengan perasaan depresif

    6. Tanpa penyulit

  • Demensia Vaskuler (dahulu multi-infarct dementia)

    1. Dengan delirium

    2. Dengan waham

    3. Dengan perasaan deprsif

    4. Tanpa penyulit

  • Demensia karena kondisi medik umum lainnya

  1. Demensia karena infeksi

  2. Demensia karena tauma kepala

  3. Demensia karena penyakit parkinson

  4. Demensia karena penyakit huntington

  5. Demensia karena penyakit pick

  6. Demensia karena penyakit creutzfeild-jakob

  7. Demensia karena penggunaan substansi tertentu dalam jangka lama

      • Demensia karena etiologi multipleks

      • Demensia yang tidak terspesifikasi

Gambaran Klinis

Gambaran klinis pada penderita demensia munculnya kognitif multipleks, yakni:

  1. Gangguan memori atau penurunan daya ingat

dalam bentuk ketidakmampuan untuk belajar tentang hal-hal baru, atau lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan, atau dipelajari. Sebagian penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tersebut diatas. Pada tingkat lanjut, gangguan menori menjadi semakin berat sehingga penderita lupa akan identitasnya sendiri.

  1. Gangguan kognitif

dalam bentuk kesulitan menyebutkan nama orang atau benda. Penderita afasia berbicara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tidak menentu. Bahasa lisan dan tulisanpun terganggu pada demensia tahap lanjut, penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan oleh ekolalia (menirukan apa ynag dia dengar).

  • Apraksia

Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun gerakan motorik, fungsi sensorik, dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu atau melakukan geraka yang telah dikenali.

  • Agnosia

Ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda meskipun fungsi sensoriknya utuh. Demikian pula, meskipun sensasi taktilnya utuh, penderita tidak mampu mengenali benda yang diletakkan diatas tangannya atau yang disentuhnya.


    1. gangguan fungsi eksekutif

gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini mempunyai kaitan dengan gangguna di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal yang berhubungna dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan menghentikan kegiatan yang kompleks.

    1. adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari

    2. depresi pada lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif

Penatalaksanaan

      • Secara umum

Terdapat 5 hambatan utama sehubungan dengan terapi demensia:

        1. kompleksitas biologi dan biokimia otak, antaraksi dan ketergantungan antar komponen belum diketahui secara jelas

        2. kesulitan dalam hal menemukan diagnosis etiologik dari sindrom psiko-organik

        3. tiadanya korelasi antara perilaku, gejala neuroligik atau neuropsikologik, dan perubahan matabolik yang ada

        4. belum diketahuinya batas-batas biologik gangguan yang ada, sehubungan dengan aspek farmakologik

        5. kesulitan dalam hal metodologi untuk mengevaluasi afek terapeutik, terutama dalam menginterpretasi hasil kelompok-kelompok peneliti

Untuk demensia tidak ada terapu spesifik atau drug of choice. Terapi demensia bukan sekedar pemberian obat0obatan, pihak keluarga harus diberi penyuluhan tentang situasi demansia, dengan demikian pihak keluarga dapat merawat penderita di rumah denga tepat. Satu hal yang perlu diketahui oleh keluarga penderita adalah obat tertentu mungkin efektif [pada saat awal demensia, tetapi dengan perjalanan waktu maka sel-sel otak akan makin banyak yang rusak atau mati, situasi ini akan mengakibatkan obat-obat yang diminum tidak akan efektif lagi.

Pada keadaan tertentu, gejala lain dan progresinya dapat diobati atau dihentikan. Namun, kognisinya mungkin tidak dapat kembali normal. Hal demikian ini terjadi pada hidrosefalus, tumor otak, defisiensi vitamin B12 dan nutrisi lainnya, neurosifilis, infeksi lainnya, dan penyakit sistemik. Sebaliknya, demensia [pada penyakit Cruetzfeld-Jakob dan AIDS, yang penyebabya sudah diketahui, belum ada obatnya.

Pemeriksaan klinis

seharusnya pemeriksaan penderita demensia tidak meninggalkan aturan baku tentang pemeriksaaan klinis. Hal ini dimaksudkan agar diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dan benar, dengan demikian terapi dapat diberikan secara tepat. Setelah melaukukan pemeriksaan rutin secara lengkap, maka akan ada beberapa hal spesifik yang berkaitan dengan demensia, hal ini memerlukan perhatian yang lebih khusus.

    1. Pemeriksaan memori

    2. Pemeriksaan kemampuan berbahasa

    3. Pemeriksaan apraksia

    4. Pemeriksaan daya abstraksi

    5. Mini mental state examinition

Pemeriksaan laboratorium dan radiologi

pemeriksaan laboratorium didasarkan atas hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik. Yang perlu diperhatikan adalah cost-benefit serta cost-effectiveness, semuanya didasarkan pada kepentingan penderita. Pemeriksaan radiologi dapat digunakan sebagai diagnosis pembanding. CT Scan atau MRI akan memperlihatkan atrofi otak, lesi otak fokal, hidrosefalus, atau iskemik periventrikuler. Pemeriksaan fungsional, misalnya PET (Positron Emission Tomography) tidak dikerjakan rutin, namun dapat memberikan informasi untuk diagnosis banding pada kasus yang tidak memperlihatkan adanya kelainan pada Ct Scan maupun MRI.

Obat untuk demensia

    1. Cholinergic-enhancing agents

    2. Choline dan lesitine

    3. Neuropeptida, Vasopresin, dan ACTH

    4. Nootropic Agents

    5. Dihydropyrotine

Pencegahan

Dementia perlu dikenali dan dipahami cara pencegahannya melalui pola hidup sehat seperti makan dengan gizi seimbang, cukup istirahat dan olahgara, tidak merokok dan lain-lain agar pada saatnya nanti para usia lanjut segera mengalami kepikunan dan masih dapat mandiri bahkan produktif. Selain itu, kemungkinan demensia dapat dicegah dengan menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak.


2.3.7 Post Power Syndrome

Definisi

Pengertian post power sindrome. Adalah gejala kejiwaan yang kurang stabil yang muncul tatkala seseorang turun dari kekuasaan, kedudukan, peran atau jabatan yang dimiliki sebelumnya.

Gejala Post Power Sindrome:

    1. Gejala fisik, misalnya menjadi jauh lebih cepat tua tampaknya dibandingkan waktu dia menjabat. Rambutnya menjadi putih semua, berkeriput, sakit-sakitan, tubuhnya menjadi lemah.

    2. Gejala emosi, misalnya cepat tersinggung kemudian merasa tidak berharga, ingin menarik diri dari lingkungan pergaulan, ingin bersembunyi, dan menjadi pemurung dsb.

    3. Gejala perilaku, misalnya malu bertemu orang lain, lebih mudah melakukan pola-pola kekerasan atau menunjukkan kemarahan baik di rumah atau di tempat yang lain.

Penyebab/etiologi

  1. Pensiun dini.

  2. PHK.

  3. Kejadian traumatic (kecelakaan)

Faktor predisposisi:

  1. Orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.

  2. Orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, jadi kalau ada jabatan dia merasa lebih diakui oleh orang lain.

  3. Orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestise jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain. Istilahnya orang yang menganggap kekuasaan itu segala-galanya atau merupakan hal yang sangat berarti dalam hidupnya.

  4. Orang-rang yang terbiasa hidup mewah dan tajir.

  5. Tidak ada dukungan dari keluarga atau kerabat dekat.

Antara pria dan wanita, pria lebih rentan terhadap post power sindrome karena pada wanita umumnya lebih menghargai relasi dari pada prestise, prestise dan kekuasaan itu lebih dihargai oleh pria.

Dampak atau akibatnya

  1. Kegoncangan jiwa.

  2. Penurunan kesehatan fisik dan psikologis.

  3. Frutasi dan agresi.

  4. Tidak bisa berfikir rasional.

  5. Depresi berat.

  6. Psikosomatik.

Tindakan preventif yang dapat kita lakukan untuk mencegah atau mengurangi resiko post power syndrome adalah:

    1. Kita perlu sadari bahwa segala sesuatu itu adalah dari Allah, karunia dari Allah termasuk kekuasaan, jabatan-jabatan apapun, setinggi apapun itu adalah karunia dari Allah. dan tugas kita adalah kita hanya sebagai alat untuk melakukan pekerjaan-Nya.

    2. Kita harus menyadari bahwa kekuasaan itu tidak bersifat permanen dan kita harus menyiapkan diri untuk suatu ketika kuasa itu lepas dari diri kita.

    3. Sebaiknya selama berkuasa, kita tidak memikirkan bagaimana mempertahankan kekuasaan tetapi kita memikirkan untuk melakukan kaderisasi.

    4. Kita perlu belajar rendah hati.

Intervensi:

  1. Komunikasi terapeutik.

  2. Dukungan dan perlakuaan keluarga dan lingkungan.

  3. Membantu klien untuk Menerima kenyataan.

  4. Membantu klien menyesuaikan aktifitas social.

  5. Membantu klien mencari aktivitas atau aktualisasi penganti.

Penyesuaian psikologis :

- Menerima kenyataan, tak ber-mewah.

- Penyesuaian keuangan

- Penyesuaian aktiviti sosial > Keluarga

- Penyesuaian aktiviti sosial > Keluarga

- Ikut menyesuaikan, penyesuaian budaya dan gaya hidup baru sangat perlu

- Aktiviti pengganti.

Budaya dan gangguan psikiatrik

- Budaya dan gangguan psikiatik perubahan ke kehidupan sederhana, dapat mengakibatkan sterss atau tertekan

- Perubahan sumberdaya , dukungan atau perlakuan lingkungan

- Merasa terisolasi, kesendirian berlebih, prilaku abnormal, frustasi-agresi

- Pola kepribadian dan kesehatan mental

Mature :

- Dapat menyesuaikan

- Terbebas dari tugas

- Pengubahan tujuan hidup lebih besar berperan sebagai penasehat

- Menerima kenyataan

- Kesejahteraan psikologikal

- Kesehatan mental yang berpengaruh pada kesehatan fisikal, yaitu:

a. Religiusitas

b. Akiviti > well being

c. Peran sosial dan pekerjaan pengganti

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

  1. Risiko tinggi terhadap kekerasan pada diri sendiri atatu orang lain b.d. Kerusakan interaksi sosial

  2. Ansietas

  3. Berduka disfungsional

  4. Kerusakan interaksi sosial

  5. Gangguan identitas pribadi

  6. Gangguan harga diri rendah.





















BAB 2

KONSEP DASAR TERAPI MODALITAS

    1. Pengertian Terapi Modalitas

Terapi modalitas keperawatan jiwa adalah beberapa terapy keperawatan yang didasarkan ilmu dan seni keperawatan jiwa. (nardiburses.wordpress.com/2008)

Terapi modalitas keperawatan jiwa adalah berbagai alternative terapi yang dapat diberikan pada pasien gangguan jiwa.

2.2 Klasifikasi Terapi Modalitas

1. PSIKOTERAPI

Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan professional secara suka rela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan pertumbuhan kepribadian secara positif.

A. Pembagian psikoterapi

Cara-cara psikoterapi dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu psikoterapi suportif dan psikoterapi genetic-dinamik.

a. Psikoterapi suportif (atau supresif, atau non-spesifik)

Tujuan psikoterapi jenis ini ialah:

  1. Menguatkan daya tahan mental yang ada.

  2. Mengembangkan mekanisme yang baru dan yang lebih baik untuk mempertahankan kontrol diri.

  3. Mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri).

Cara-cara psikoterapi suportif antara lain:

  1. Ventilasi atau (psiko-) katarsis.

  2. Persuasi atau bujukan (persuasion).

  3. Sugesti.

  4. Penjaminan kembali (reassurance).

  5. Bimbingan dan penyuluhan.

  6. Terapi kerja.

  7. Hipno-terapi dan narkoterapi.

  8. Psikoterapi kelompok.

  9. Terapi perilaku.

b. Psikoterapi wawasan (atau genetik-dinamik) (“insight psychotherapy”). Dibagi menjadi psikoterapi reedukatif dan psikoterapi rekonstruktif.

  • Psikoterapi reedukatif :

Untuk mencapai pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya lebih banyak di alam sadar, dengan usaha berencana untuk menyesuaikan diri kembali, memodifikasikan tujuan dan membangkitkan serta mempergunakan potensi kreatif yang ada.

Cara-cara psikoterapi reedukatif antara lain:

  1. Terapi hubungan antar-manusia (relations therapy).

  2. Terapi sikap (attitude therapy).

  3. Terapi wawancara (interview therapy).

  4. Analisa dan sintesa yang distributif (terapi psikobiologik Adolf Meyer).

  5. Konseling terapetik.

  6. Terapi “case-work”.

  7. Reconditioning.

  8. Terapi kelompok yang reedukatif.

  9. Terapi somatik.

    • Psikoterapi rekonstruktif :

Untuk mencapai pengertian tentang konflik-konflik yang letaknya di alam tak – sadar, dengan usaha untuk mendapatkan perubahan yang luas daripada struktur kepribadian dan pengluasan daripada pertumbuhan kepribadian dengan pengembangan potensi penyesuaian diri yang baru.

Cara-cara psikoterapi rekonstruktif antara lain:

  1. Psikoanalisa Freud.

  2. Psikoanalisa Non-Freudian.

  3. Psikoterapi yang berorientasi kepada psikoanalisa.

Persamaan Dan Perbedaan Antara Beberapa Jenis Teknik Psikoterapi (terlampir)

2. TERAPI KOGNITIF

A. Konsep Gangguan Kognitif

Secara garis besar gejala gangguan jiwa dikelompokkan menjadi empat kelompok besar yaitu: Gangguan Kognitif (cognitive), Gangguan Kemauan (volition), Gangguan Emosi dan Afek (emotion and affect), Gangguan Psikomotor (psychomotor). Masing-masing kelompok gangguan dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yang sangat rumit dan kompleks.

Gangguan kognitif adalah adanya masalah dalam proses mental yang dengannya seseorang individu menyadari dan mempertahankan hubungan dengan lingkungannya baik lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya (fungsi mengenal). Bagian-bagian dari proses kognisi bukan merupakan kekuatan yang terpisah-pisah, tetapi sebenarnya ia merupakan cara dari seorang individu untuk berfungsi dalam hubungannya dengan lingkungannya.

Proses kognisi meliputi:

  • Sensasi dan persepsi

  • Perhatian

  • Ingatan

  • Asosiasi

  • Pertimbangan

  • Pikiran

  • Kesadaran

  1. Pengertian Cognitive Behavioral Therapy

Cognitive Behavioral Therapy: Apikasi dari berbagai variasi teori belajar dalam kehidupan. Tujuannya adalah untuk menolong seseorang keluar dari kesulitannya dalam berbagai bidang kehidupan dan pengalaman. Seringkali masalah tersebut terjadi dalam konteks masalah medis atau gangguan psikiatrik Teknik kognitif terapi dapat diterapkan dalam bidang pendidikan, di tempat kerja, dalam kegiatan konsumen, dan olahraga. Dalam situasi tersebut kognitif behavioral terapi dapat menolong seseorang dalam pertumbuhan prestasinya dengan meningkatkan kemampuan kopingnya. Hal ini dapat digunakan oleh perawat di berbagai bagian dan berbagai lapangan kesehatan untuk meningkatkan respon koping dan merubah perilaku maladaptive. Hal ini sangat penting bagi pengetahuan perawat dalam intervensi keperawatan melalui konsep rentang sehat sakitnya.

Cognitive behavioral therapy berfokus pada masalah dan berorientasi pada tujuan, diarahkan pada masalah-masalah yang berkembang pada situasi sekarang dan saat ini (deals with here and now issues). Memandang individu sebagai pengambil keputusan utama dalam menyelesaikan masalah.

  1. Bentuk Distorsi Kognitif Pada Klien (Stuart, Laraia, 1997:645)

Tabel 14.1. Bentuk Distorsi Kognitif


No

Kelainan Kognisi

Pengertian

Contoh


Overgeneralization

Menggambarkan kesimpulan secara menyeluruh segala sesuatu berdasarkan kejadian tunggal.

Seorang mahasiswa yang gagal dalam sau ujian mengatakan: “Kayaknya saya enggak akan lulus dalam setiap ujian”


Personalization

Menghubungkan kejadian di luar terhadap dirinya meskipun hal tersebut tidak beralasan.

Atasan saya mengatakan produktivitas perusahaan sedang menurun tahun ini, saya yakin kalau pernyataan ini ditujukan pada diri saya”.


Dichotomus thinking

Berpikir ekstrim, menganggap segala sesuatunya selalu sangat bagus atau sangat buruk.

Bila suami saya meninggalkan saya, saya piker saya lebih baik mati”.


Catastrophizing

Berpikir sangat buruk tentang orang dan kejadian.

Saya lebih baik tidak mengisi formulir promosi jabatan itu, sebab saya tidak menginginkan dan tidak akan nyaman dengan jabatan itu”.


Selective abstraction

Berfokus pada detail, tetapi tidak relevan dengan informasi yang lain.

Seorang istri percaya bahwa suaminya tidak mencintainya sebab ia datang terlambat dari pekerjaannya, tetapi ia mengabaikan perasaannya, hadiah dari suaminya tetap diterima dan libur bersama tetap direncanakan.


Arbitary inference

Menggambarkan kesimpulan yang salah tanpa didukung data.

Teman saya tidak pernah lama menyukai saya sebab ia tidak mau di ajak pergi.


Mind reading

Percaya bahwa seseorang mengetahui pemikiran orang lain tanpa mengecek kebenarannya.

Mereka pasti berpikir bahwa dirinya terlalu kurus atau terlalu gemuk.


Magnification

Exaggregating the importance of events

Saya telah meninggalkan makan malam saya, hal ini menunjukkan betapa tidak kompetennya saya.


Externalization of self worth

Menentukan tata nilai sendiri untuk diterapkan pada orang lain.

Saya sudah berusaha untuk kelihatan baik setiap waktu tetapi teman-teman saya tidak menginginkan saya berada di sampingnya.


B. Peran Perawat Jiwa dalam Kognitif Terapi

Perawat jiwa memiliki peranan penting dalam berbagai teknik kognitif terapi di rumah sakit jiwa. Peran tersebut terutama adalah bertindak sebagai leader, fasilitator, evaluator,, dan motivator. Teknik kognitif terapi di rumah sakit jiwa dapat bermanfaat ssecara efektif terhadap berbagai masalah klinik untuk semua rentang usia. Masalah-masalah tersebut melliputi : kecemasan (anxiety), gangguan afek (affective), masalah makan (eating), schizofrenia, ketergantungan zat substance abuse), gangguan kepribadian (personality disorder). Hal inipun bisa diterapkan pada anak, dewasa, keluarga baik secara kelompok atau individual. Secara umum kognitif terapi meliputi beberapa teknik dengan tujuan sebagai berikut :

  1. Meningkatkan aktivitas yang diharapkan (increasing activity)

  2. Menurunkan perilaku yang tidak dikehendaki (Reducing unwanted behavior)

  3. Meningkatkan rekreasi (increasing pleasure)

  4. Meningkatkan dan memberi kesempatan dalam kemampuan sosial (Enchancing social skill)

3. TERAPI KELUARGA

    1. Konsep Terapi Keluarga

Dampak negative dari perawatan di rumah sakit, mendorong dicanangkannya pelayanan kesehatan jiwa masyarakat yaitu mempertahankan klien sedapat mungkin di masyarakat.

Hal ini mungkin dilakukan melalui integrasi kesehatan jiwa masyarakat di puskesmas. Dengan demikian maka rentang asuhan keperawatandalah dari pelayanan di masyarakat sampai pelayanan di rumah sakit dan sebaliknya. Dengan kata lain pelayanan secara terus-menerus pada setiap keadaan klien yang mungkin berfluktuasi di sepanjang rentang sehat sakit.

Keluarga merupakan system pendukung utama yang memberi perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) klien. Umumnya, keluarga meminta bantuan tenaga kesehatan jika mereka tidak sanggup lagi merawatnya. Oleh karena itu asuhan keperawatan yang berfokus pada keluarga bukan hanya memulihkan keadaan klien tapi bertujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan keluarga dalam mengatasi masalah kesehatan keluarga tersebut.

Perawat membantu keluarga agar dapat/mampu melakukan lima tugas kesehatan:

  1. mengenal masalah kesehatan

  2. membuat keputusan tindakan kesehatan

  3. memberi perawatan pada anggota yang sehat

  4. menciptakan lingkungan keluarga yang sehat

  5. menggunakan sumber yang ada dalam masyarakat. (Bailon dan Maglaya, 1978)

    1. Tujuan Terapi Keluarga

Pentingnya perawatan di lingkungan keluarga dapat dipandang dari berbagai segi yaitu: keluarga merupakan suatu konteks dimana individu memulai hubungan interpersonal. Keluarga mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap, dan prilaku klien (Clemen dan Buchaman, 1982: 171). Sedangkan Sprayder (1985) mengemukakan bahwa keluarga mempumyai fungsi dasar seperti memberi kasih sayang, rasa aman, rasa dimiliki, dan menyipakan peran dewasa individu di masyarakat.

Jika keluarga dipandang sebagai suatu system, maka gangguan jiwa pada satu anggota keluarga akan mengganggu semua system atau keadaan keluarga. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa pada anggota keluarga. Dari kedua pernyataan di atas, dapat disimpulkan betapa pentingnya peran keluarga pada peristiwa terjadinya gangguan jiwa dan proses penyesuaian kembali setelah selesai program perawatan. Oleh karena itu keterlibatan keluarga dalam perawatan sangat menguntungkan proses pemulihan klien.

    1. Model Terapi Keluarga

Pada saat sekarang ini kegiatan terapi keluarga telah dikembangkan beberapa pendekatan berupa model-model terapi keluarga, diantaranya:

Teori Konsep Bowen

  1. Pembeda diri: menentukan bagaimana hubungan emosional dibentuk dan bagaimana perkembangannya dari tiap individu. Misalnya: Menggali siapa saya? Apa peran saya? Hal apa yang membedakan saya dengan anggota keluarga lainnya? (umur, tugas, tanggung jawab, kebutuhan) dalam keluarga.

  2. Triangle dibentuk dari beberapa system emosi dan respon emosional automatic dalam keluarga yang digunakan untuk mengatur dan meredam kecemasan dalam berhubungan. Menggali bagaimana peran segi tiga: Ayah, Ibu, dan Anak agar dapat mencaoai keseimbangan dan rasa aman dalam keluarga.

  3. Dinamik (Bergerak): proses perpindahan beberapa generasi suatu keluarga. Isu dan masalah dapat berubah dari satu generasi ke generasi lain begitu pula pola dari hubungan. Menggali apa masalah dominan generasi kakek, apa masalah dominant generasi ayah ibu, apa masalah dominan anak-anak sekarang, apa potensi masalah generasi berikutnya? Misalnya penyebab kecemasan keluarga adalah adanya masalah yang belum selesai pada generasi kakek. Masalah yang belum selesai pada generasi ayah ibu adalah adanya pernikahan yang melanggar adat atau tabu. Masalah dominant pada generasi anak adalah masalah narkoba.

  4. Posisi sibling adah seorang anggota keluarga ada perhatian pada sibling lainnya. Peran perawat menggali adakah dalam keluarga tersebut suasana pilih kasih yang dirasakan oleh anak tertentu? Adakah seseorang yang merasa mendapat perhatian lebih atau sangat kurang disbanding anak lainnya? Misalnya system keluarga menjadi terganggu setelah perhatian ibunya tercurah pada anak yang baru lahir sehingga terjadi pergeseran peran sebelumnya dan terganggunya seluruh sisrem keluarga.

  5. System emosi nuclear family berarti pengkajian diarahkan pada pola dari interaksi keluarga yang meliputi ayah, ibu, dan anak tanpa ada pihak keluarga lain. Sehingga bentuk perhatian, kasih sayang, komunikasi lebih berfokus pada keluarga inti. Perawat mencoba menganalisa siapa sebenarnya keluarga inti dan mencoba mengesampingkan anggota keluarga lain yang bukan keluarga inti.

      1. Emosional dihambat: antara keluarga inti mencoba untuk berlatih amarah, menahan merubahnya menjadi ungkapan kasih sayang dan saling perhatian. Perawat mencoba memusatkan pada upaya agar keluarga tidak bersifat emosional tetapi memecahkan konflik dengan cara hangat dan intim.

      2. Proses priyeksi keluarga: menggambarkan suatu kecemasan tentang isu yang ditransfer melalui suatu generasi. Focus telaahan dimana masalah yang belum tuntas pada suatu generasi mungkin diwariskan pada generasi berikutnya. Masalah yang diwariskan dari generasi sebelumnya coba dianalisa oleh keluarga inti serta dampaknya pada keluarga inti dengan difasilitasi perawat.

    1. Terapi Struktur Keluarga

        1. Model terapi ini pada mulanya dikembangkan oleh Minuchin. Konsep keluarga sebagai suatu system sosiokultural terbuka digambarkan sebagai sarana dalam memenuhi kebutuhan adaptasi. Fungsi keluarga berkurang apabila kebutuhan individu dan anggota keluarga lain dijumpai maladaptif dan tidak bisa saling menyesuaikan. Misalnya penyesuaian pola makan dari latar belakang suami, istri, keponakan, bibi atau anggota keluarga lain yang berbeda, penyesuaian komunikasi dari pola asuh sebelumnya yang berbeda.

        2. Fokus dari terapi struktur ini adalah perubahan adaptasi dari maladaptif menjadi adaptif atau perubahan pola untuk memudahkan perkembangan. Untuk usaha terapi meliputi hubungan keluarga, evaluasi struktur dasar keluarga. Kemampuan dan upaya seluruh anggota keluarga untuk saling menerima perbedaan dan saling memahami karakter.

E. Peran Perawat dalam Terapi Keluarga

Dengan bantuan perawat, keluarga diharapkan mempunyai kemampuan mengatasi masalah dan memelihara stabilitas dari status kesehatan semaksimal mungkin. Newman menjelaskan strategi intervensi perawatan keluarga yang lebih berfokus pada prevensi primer dan tersier, seperti:

        1. Mendidik kembali dan mengorentasi kembali seluruh anggota keluarga misalnya perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.

        2. Memberikan dukungan kepada klien serta system yang mendukung klien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa keluarga klien mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya.

        3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan siapa yang bisa diajak konsultasi.

        4. Memberi pelayanan prevensi primer, sekunder, dan tersier melaui penyuluhan, perawatan di rumah, pendidikan, dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga yang kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarga yang membutuhkan perawatan.

Proses perawatan yang melibatkan klien dan keluarga akan membantu proses intervensi dan menjaga klien agar tidak kambuh kembali setelah pulang. Khusus untuk keluarga yang memiliki anggota dengan gangguan jiwa, sangat penting merencanakan rencana pulang klien dengan keluarganya. Jipp dan Sine (1986) mengemukakan tujuan rencana pulang klien, sebagai berikut:

  1. Menyiapkan klien dengan keluarga secara fisik dan social serta psikologi.

  2. Meningkatkan kemandirian klien dan keluarga.

  3. Menyelenggarakan rentang perawatan anatara rumah sakit dan masyarakat.

  4. Melaksanakan proses pulang yang bertahap.

F. Indikasi Terapi Keluarga

Terapi keluarga berguna untuk klien yang:

  1. Segan terhadap psikoterapi individu karena takut, tidak percaya pada terapi, menentang keras terapi, melawan figur orang tua.

  2. Tidak/ kurang berpengalaman dengan saudara-saudaranya mempunyai pertentangan dengan anggota keluarga lain tidak/sukar menyesuaikan diri dengan keluarga.

  3. Ada salah satu anggota keluarga yang mempunyai intelegensi rendah atau komunikasi keluarga yang terhambat.

G. Keterlibatan Keluarga dalam Mencegah Klien Kambuh

Keluarga merupakan unit yang paling dekat dengan klien dan merupakan ”perawat utama” bagi klien. Keluarga berperan dalam menentukan cara atau asuhan yang diperlukan klien di rumah. Keberhasilan perawat di rumah sakit dapat sia-sia jika tidak diteruskan di rumah yang kemudian menga yang kemudian mengakibatkan klien harus diarawat kembali (kambuh). Peran serta keluarga sejak awal asuhan di RS akan meningkatkan kemampuan keluarga merawat klien di rumah sehingga kemungkinan dapat dicegah.

Pentingnya peran serta keluarga dalam klien gangguan jiwa dapat dipandang dari berbagai segi. Pertama keluarga merupakan tempat dimana individu memulai hubungan interpersonal dengan lingkungannya. Keluarga merupakan ”institusi” pendidikan utama bagi individu untuk belajar dan mengembangkan nilai, keyakinan, sikap dan perilaku (Clement dan Buchanan, 1982: 171).

Individu menguji coba perilakunya di dalam keluarga, dan umpan balik keluarga mempengaruhi individu dalam mengadopsi perilaku tertentu. Semua ini merupakan persiapan individu untuk berperan di masyarakat.

Jika keluarga dipandang sebagai suatu sistem maka gangguan yang terjadi pada salah satu anggota merupakan salah satu anggota keluarga, dapat mempengaruhi seluruh seluruh sistem, sebaliknya disfungsi keluarga merupakan salah satu penyebab gangguan pada anggota.

Pelayanan kesehatan jiwa yang ada merupakan fasilitas yang membantu klien dan keluarga dalam mengembangkan kemampuan mencegah terjadinya masalah, menanggulangi berbagai masalah dan mempertahankan keadaan adaptif

Salah satu faktor penyebab kambuh gangguan jiwa adalah keluarga yang tidak tahu cara menangani perilaku klien di rumah (Sullinger, 1988). Menurut Sullinger (1988) dan Carson/Ross (1987), klien dengan diagnosa skizofrenis diperkirakan akan kambuh 50% pada tahun pertama, 70% pada tahun kedua, dan 100% pada tahun kelima setelah pulang dari rumah sakit karena perlakuan yang salah selama di rumah atau di masyarakat.

Peran Keluarga dalam Mencegah Kekambuhan Klien

Empat faktor penyebab klien kambuh dan perlu dirawat di rumah sakit, menurut Sullinger (1988):

  1. Klien; sudah umum diketahui bahwa klien yang gagal memakan obat secara teratur mempunyai kecenderungan untuk kambuh. Berdasarkan hasil penelitian menunujukkan 25% sampai 50% klien pulang dari rumah sakit tidak memakan obat secara teratur (Appeton [1982] dikuti oleh Sullinger [1988]).

  2. Dokter (pemberi resep); makan obat secara teratur dapat mengurangi kambuh, namun pemakaian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping Tardive Diskinesia yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Dokter yang memberi resep diharapkan tetap waspada mengidentifikasi dosis terapeutik yang dapat mencegah kambuh dan efek samping.

  3. Penanggung jawab klien; Setelah klien pulang kerumah maka perawat Puskesmas tetap bertanggung jawab atas program adaptasi klien dirumah.

  4. Keluarga; berdsarkan penelitian di inggris (Vaugh, 1976) dan di AS (Synder,1981) memperlihatkan bahwa keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkeritik, banyak melibatkan diri dengan klien diperkirakan kambuh dalam waktu 9 bulan, hasilnya 57% kembali dirawat dari kelurga dengan ekspresi emosi yang tinggi dan 17% kembali dirawat dari keluarga dengan ekspresi emosi keluarga yang rendah. Selain itu klen juga mudah dipengaruhi oleh stress yang menyenangkan (naik pangkat, menikah) maupun yang menyedihkan (kematian/kecelakaan). Dengan terapi keluarga klien dan keluarga dapat mengatasi dan mengurangi stress.

Herz dan Menville (1980, dikutip oleh Sullinger, 1988) mengkaji beberapa gejala kambuh yang diidentifikasi oleh klien dan keluarganya, yaitu :

  1. Nervous

  2. Tidak nafsu makan

  3. Sukar konsentrasi

  4. Sulit tidur

  5. Depresi

  6. Tidak ada minat

  7. Menarik diri

Setelah klien pulang kerumah, sebaiknya klien melakukan perawatan lanjutan pada puskesmas di wilayahnya yang mempunyai program kesehatan jiwa. Perawat komuniti yang menangani klien dapat menganggap rumah klien sebagai ”ruangaan perawatan”. Perawat, klien, dan keluarga besar sama untuk membantu proses adaptasi

Klien di dalam keluadrga dan masyarakat. Perawat dapat membuat kontrak dengan keluarga tentang jadwal kunjungan rumah dan after care di puskesmas.

Contoh Jadwal Kunjungan Rumah

Minggu pertama = 2 x per hari

Minggu kedua = 1 x per hari

Minggu ketiga = 3 x per minggu

Minggu keempat = 2 x per minggu

Bulan kedua-6 bulan selanjutnya = 1 x per minggu


Contoh Jadwal After Care

Bulan pertama = 2 x per bulan, ditemani dengan keluarga

Bulan kedua = 2 x per bulan, diantar kendaraan

Bulan ketiga = 2 x per bulan, sendirian

Selanjutnya = 1 x per bulan, sendirian


Jadwal kunjungan rumah dan after care dapat dimodofikasi sesuai dengan kebutuhan klien. perawat membantu klien dan keluarga menyesuaikan diri di lingkungan keluarga, dalam hal sosialisasi, perawatan mandiri dan kemampuan memecahkan masalah. perawat dapat memantau dan mengidentifikasi gejala kambuh dan segera melakukan tindakan sehingga dapat dicegah perawatan kembali di rumah sakit.

Peran keluarga dalam terapi

  1. Membuat suatu keadaan dimana anggota keluarga dapat melihat bahaya terhadap diri klien dan aktivitasnya.

    • Mengurangi rasa takut.

    • Memberikan arahan.

    • Menolong mereka dapat merasa senang dengan proses terapinya.

    • Menerima keahlian dan melakukan peranannya dengan baik.

  2. Tidak merasa takut dan mampu bersikap terbuka.

    • Menyusun pertanyaan untuk menguramgi rasa takut.

    • Menguatkan anggapan anggota dan nenanyakan anggapan individu.

    • Mendapatkan fakta tentang rncana proses, kelemahan dalam rencana, persepsi pribadi dan orang lain, persepsi peran, komunikasi yang baik dan tekniknya, perasaan seksual dan aktivitas.

    • Merespon dengan keyakinan hati anggota.

  3. Membantu anggota bagaimana memandang orang lain.

    • Observasi sharing bagaimana anggota memanifestasikan dirinya.

    • Mengajarkan angoota bagaimana mengobservasikan sharing mereka dengan orang lain.

    • Menayangkan videotip atau audiovisual yang mendukung visi keluarga.

  4. Bertanya dan memberikan informasi tak berbelit; Memudahkan dalam memberi dan menerima informasi yang memudahkan bagi anggota keluarga untuk melakukannya.

  5. Menbangun self esteem.

    • Dengan menanyakan ”Saya menghargai kamu”.

    • Mencantumkan sesuatu yang berharga bagi seseorang.

    • Ajukan pertanyaan yang dapat dijawab oleh anggota keluarga.

    • Menekankan bahwa ahli terapi dan anggota keluarga sanggup belajar dari terapi.

    • Merespon sebagai seseorang yang mengerti atau sungguh-sungguh dapat mengevaluasi.

    • Tidak ada pencapaian hasil yang lalu.

    • Menanyakan anggota keluarga yang lain, apakah klien dapat membawa kebahagiaan bagi anggota keluarga.

  6. Menurunkan ancaman dengan latar belakang aturan untuk interaksi.

    • Melihat kembali aturan di rumah dimana semua anggota berpartisipasi.

    • Demokratis

    • Meyakinkan bahwa tidak ada orang yang membicarakan atau menyinggung orang lain.

    • Menolong setiap orang berbicara dengan benar sehingga orang lain dapat mendengar.

    • Menggunakan pendekatan humor.

    • Menciptakan keetenangan untuk kontrol.

  7. Menurunkan ancaman dengan struktur pembahasan yang sistematif.

    • Memberitahukan tujuan dengan jelas sampai akhir terapi atau batas waktu untuk reevaluasi

    • Memperlihatkan keluarga sebagai suatu kesatuan bukan bagian.

    • Melihat bagian atau sub sistem dari keluarga untuk menyelesaikan pekerjaan dengan baik.

    • Menurunkan ancaman.

    • Diskusikan marah dan ketersinggungan secara terbuka.

  8. Pendidikan ulang anggota keluarga untuk bertanggung jawab.

    • Mengingatkan anggota keluarga bahwa mereka dapat merubah diri mereka sendiri.

    • Keterbukaan antar anggota keluarga.

4. TERAPI LINGKUNGAN

  1. Konsep Terapi Lingkungan

Manusia tidak bisa dipisahkan dri lingkungan harus mendapat perhatian khusus dalam kaitannya untuk menjaga dan memelihara kesehatan manusia. Lingkungan berkaitan erat dengan stimulasi psikologis seseorang yang akan berdampak baik pada kondisi fisik maupun kondisi psikologis seseorang.

Lingkungan dan situasi rumah sakit yang asing serta pengalaman perawatan yang tidak menyenangkan akan memberi pengaruh yang besar terhadap kemampuan adaptasi pasien dengan gangguan fisik dan gangguan mental. Lingkungan tersebut akan berpengaruh pula pada proses perawatan di rumah sakit, hal ini pada akhirnya akan menentukan keberhasilan perawatan dan pengobatan.

Adanya kecenderungan lingkungan rumah sakit menjadi stressor bagi pasien seperti banyaknya keluhan masyarakat yang menyatakan rumah sakit bau alcohol, bau darah, bau obat, semerawut dengan lalu lalang pengunjung dan petugas kesehatan, warna yang monotron, udara yang terbatas dan limbah medis yang berbahaya. Hal tersebut bertolak belakang dengan penyembuhan pasien, dimana pasien yang sedang sakit membutuhkan suasana yang nyaman, sejuk, aman terhindar dari kebisingan, terhindar dari rasa sakit yang berlebihan, mendapatkan bau yang nyaman serta terhindar dari lalu lalang, karena pasien yang sedang mengalami kelemahan fisik dan kerusakan sel-sel tubuh membutuhkan waktu istirahat yang berfungsi untuk pemulihan dan proses floriferation sel yang rusak. Pasien harus terhindar dari kebisingan, crowding, membutuhkan temperatur yang nyaman dan pencahayaan yang cukup.

Dalam penerapan psikologi lingkungan harus memperhatikan interdisipliner ilmu-ilmu lain, misalnya dalam penatalaksanaan pasien yang mengalami gangguan mental perlu adanya kerjasama antara dokter, perawat, psikolog dan ahli lingkungan sehingga dalam penatalaksanaan pasien dilakukan secara kompehensif.

Menurut ICN (1997) yang dikutip oleh Suhaemi (1997) bahwa pada tahun 2020 nanti di seluruh dunia akan terjadi pergeseran penyakit. Penyakit infeksi akan dapat dikendalikan, Aids akan terus menjadi masalah utama, masalah kesehatan mental akan menjadi “The global burden of disease” (Michard dan Chaterina, 1999). Hal ini akan menjadi tantangan bagi “Public Health Policy” yang secara tradisional memberi perhatian yang lebih pada penyakit infeksi. Standar pengukuran untuk kesehatan global secara tradisional adalah angka kematian akibat penyakit. Ini telah menyebabkan gangguan mental seolah-olah bukan masalah. Dengan adanya indicator baru, yaitu DALY (Disability Adjusted Life Year), diketahuilah bahwa gangguan mental psikiatrik merupakan masalah kesehatan utama secara internasional.

Perubahan social ekonomi yang amat cepat dan situasi social politik Indonesia yang tidak menentu menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan mental dalam kehidupan manusia, pada saat ini terjadio peningkatan sekitar 20% (Antai Otong, 1994).

Pasien gangguan mental seringkali mendapat isolasi social, diasingkan lingkungan, terbuang dari keluarga dan mendapat perlakuan fisik yang kurang manusiawi sehingga upaya-upaya dalam memodifikasi lingkungan menjadi sangat penting (Stuart Sundeen, 1995). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Bloom yang menyatakan bahwa 60% factor yang menentukan status kesehatan seseorang adalah kondisi lingkungannya.

Upaya terapi harus bersifat komprehensif, holistic dan muldisipliner. Selain terapi fisik (Farmakoterapy), terapi psikologis (psykoterapy), juga perlu mengupayakan optimalisasi aspek lingkungan melalui penerapan konsep-konsep psikologis lingkungan. Hal ini berarti pentingnya upaya-upayaya memadukan konsep terapi dengan psikologi lingkungan dalam mengupayakan kesembuhan pasien gangguan mental dan penyakit fisik lainnya.

B. Konsep Lingkungan Dalam Keperawatan Mental

Lingkungan telah didefiniskan dengan berbagai pandangan, lingkungan merujuk pada keadaan fisik, psikologis, dan sosial di luar batas sistem, atau masyarakat dimana sistem itu berada (Murray Z., 1985).

Secara teori dididentifikasi bahwa sistem lingkungan sendiri terdiri dari sistem internal dan sistem eksternal. Sistem internal manusia terdiri atas jenis-jenis subsistem yang meliputi biologikal, psigologikal, sosiologikal, dan spiritual. Sedangkan lingkungan eksternal meliputi; sesuatu di luar batas sistem internal seperti : udara, iklim, air, bangunan termasuk diantaranya hal yang tidak dapat diraba seperti : sosial, budaya, politik, dan ekonomi.

Menurut Muray, lingkungan eksternal juga mencakup : stimulus, objek, dan orang lain secara pribadi. Lingkungan diartikan sebagai lingkungan fisik dan psikologi, termasuk masyarakat. Lingkungan secara umum akan berkaitan erat dengan tujuan keperawatan karena menyangkut status kesehatan seseorang yang tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungannya.

Menurut teori keperawatan lingkungan yang dikemukakan Florence Nightingale, meyakini bahwa udara yang bersih, sinar matahari yang cukup, serta lingkungan yang bersih merupakan aspek yang penting untuk pemulihan kesembuhan seseorang. Berdasarkan pengalamannya dalam menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan membuktikan bahwa ia dapat menurunkan angka kematian pada tentara korban Perang Crime (Crimean War) dari 42 % menjadi 2 % (Kalisch dan Kalisch, 1986). Ia menyatakan bahwa pasien-pasien yang ditempatkan dalam lingkungan yang bersih, udara yang cukup, kelembaban yang sesuai, bau yang wangi dapat mencegah kematian.

Nightingale percaya bahwa tubuh manusia memiliki daya penyembuh dan tugas perawat beserta tim kesehatan hanyalah menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung penyembuhan alamiah tersebut. Konsep ini memfokuskan peran perawat dalam memodifikasi lingkungan fisik yang akan berdampak pada biokimiawi tubuh sperti kadar cortisone dan adrenalin yang normal, serta berdampak pada psikologis klien sperti perasaan aman (safety need), terbebas dari kecemasan (anxiety).

Modifikasi lingkungan menurut Florence adalh sebagai berikut :

  • Udara yang bersih (pureair).

  • Air yang jernih dan sehat (purewater)

  • Pembuangan yang aman dan memadai (efficient drainage)

  • Keadaan lingkungan ysng bersih (cleanline)

  • Sinar matahari / cahaya yang cukup (light)

Hasil penelitian menunjukan bahwa suasana lingkungan yang lebih dikenal dan menyenangkan bagi pasien akan berpengaruh pada peningkatan kemampuan adaptasi pasien di rumah sakit. Penelitian Suryani (1999) di RSHS menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang kuat antara terapi lingkungan dengan kemampuan adaptasi pada pasien anak-anak selama perawatan dan mempermudah upaya perawatan di rumah sakit. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa lingkungan yang dimodifikasi dengan prinsip terapeutik (milieu therapy) menyebabkan rat-rata hari perawatan menjadi menurun.

Penelitian lainnya adalah yang dilakukan oleh Hunsbreg (1984) menunjukkan bahwa terapi gabungan antara terapi lingkungan dan tehnik relaksasi dapat menurunkan tingkat stres pasien.

C. Pengertian Terapi Lingkungan ( Milieu Therapy )

Milieu therapy : is defined as the purposeful use of the environment for therapeutic purpose. Every interaction with the patient is seen as having potentially beneficial outcomes in promoting optical functioning.(Wilson, 1992).

Milieu is characterized by an equitable distribution of power in that individuals constructively influence their own threatment. There are open communication, stuctured client’s developmental needs. The focus is on action and solving problem in everyday experiences. Aspect of the milieu include therapeutic relationship, the ward environment, and rules and limits. (Clinton, Nelson, 1996)

Terapi / pengobatan merupakan cara proses penyembuhan suatu gangguan yang disebabkan oleh sumber-sumber gangguan. Sumber-sumber yang bersifat terpeutik (dapat memberikan penyambuhan) dapat berupa orang-orang lingkungan / benda-benda dan kegiatan-kegiatan yang membawa kearah penyembuhan.

Lingkungan merupakan kondisi dimana berpengaruh besar terhadap proses penyembuhan terutama pasien dengan gangguan jiwa. Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan berpengaruh terhadap proses penyembuhan. Konsep-konsep tentang terapi lingkungan berasal dari konsep-konsep “ The Therapeutic Community ” yang diperkenalkan oleh Maxwell Jones yang digunakan dalam lingkungan rumah sakit.

Terapi lingkungan ( mileu therapy ) berasal dari bahasa prancis yang berarti perencanaan ilmiah dari lingkungan untuk tujuan yang bersifat terapeutik ( mendukung kesembuhan ). Pengertian lainnya adalah tindakan penyembuhan pasien melalui manipulasi dan modifikasi unsur-unsur yang ada pada lingkungan dan berpengaruh positif terhadap fisik dan psikis individu serta mendukung proses penyembuhan.

Terapi atau pengobatan merupakan cara atau proses penyembuhan suatu gangguan yang disebabkan oleh sumber-sumber gangguan. Sumber-sumber yang bersifat terapeutik ( dapat memberikan penyenbuhan ) bisa berupa orang-orang lingkungan / benda-benda dan kegiatan-kegiatan yang membawa ke arah penyembuhan.

Lingkungan fisik dan psikologis merupakan suatu kondisi yang memiliki pengaruh besar terhadap proses penyembuhan terutama pasien dengan gangguan mental. Terapi lingkungan adalah suatu tindakan penyembuhan pasien dengan gangguan jiwa melalui manipulasi unsur yang ada di lingkungan dan terpengaruh terhadap proses penyembuhan.

Konsep-konsep tentang terapi lingkungan berasal dari konsep-konsep “ The therapeutic community “ yang diperkenalkan oleh Maxwell Jones yang digunakan dalam lingkungan rumah sakit serta fasilitas kesehatan lain. Dalam pelaksanaannya harus melibatkan team work yang terdiri dari berbagai ahli di bidangnya masing-masing dengan tujuan mengoptimalkan proses penyembuhan pasien. Tim tersebut bisa terdiri dari dokter ahli jiwa, psikolog, perawat jiwa, ahli sanitasi lingkungan, social worker dan petugas kesehatan lainnya. Tekhnis pelaksanaannya berupa planning penataan lingkungan fisik dan prediksi dampak psikologisnya dimana tim tersebut duduk bersama berdasarkan disiplin ilmunya masing-masing guna menghasilkan situasi kondisi rumah sakit yang ideal.

D. Tujuan Terapi Lingkungan

Membantu individu untuk mengembangkan rasa harga diri, mengembangkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, membantu belajar mempercayai orang lain, dan mempersiapkan diri untuk kembali ke masyarakat. Di samping hal tersebut Stuart dan Sundeen menjelaskan beberapa tujuan terapi lingkungan : meningkatkan pengalaman positif pasien khususnya yang mengalami gangguan mental, dengan cara membantu individu dalam mengembangkan harga diri, meningkatkan kemampuan untuk berhubungan dengan orang lain, menumbuhkan sikap percaya pada orang lain, mempersiapkan diri kembali ke masyarakat dan mencapai perubahan kesehatan yang positif.

E. Karakteristik Terapi Lingkungan

Untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka lingkungan harus bersifat terapeutik yaitu mendorong terjadi proses penyembuhan, lingkungan tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut :

  1. Pasien merasa akrab dengan lingkungan yang diharapkannya.

  2. Pasien merasa senang/nyaman dan tidak merasa takut di lingkungannya.

  3. Kebutuhan-kebutuhan fisik pasien mudah dipenuhi.

  4. Lingkungan rumah sakit/bangsal yang bersih.

  5. Lingkungan menciptakan rasa aman dari terjadinya luka akibat impuls-impuls pasien.

  6. Personal dari lingkungan rumah sakit/bangsal menghargai pasien sebagai individu yang memiliki hak, kebutuhan dan pendapat serta menerima perilaku pasien sebagai respon adanya stress.

  7. Lingkungan yang dapat mengurangi pembatasan-pembatasan/larangan dan dan memberikan kesempatan kepada pasien untuk menentukan pilihannya dan membentuk perilaku yang baru.


Di samping hal tersebut terapi lingkungan harus memiliki karakteristik :

  • Memudahkan perhatian terhadap apa yang terjadi pada individu dan kelompok selama 24 jam.

  • Adanya proses pertukaran informasi.

  • Pasien merasakan keakraban dengan lingkungan.

  • Pasien yang merasa senang, nyaman, aman, dan tidak merasa takut baik dari ancaman psikologis maupun ancaman fisik.

  • Penekanan pada sosialisasi dan interaksi kelompok dengan fokus komunikasi terapeutik.

  • Staf membagi tanggung jawab bersama pasien.

  • Personal dari lingkungan menghargai klien sebagai individu yang yang memiliki hak, kebutuhan, dan tanggung jawab.

  • Kebutuhan fisik klien mudah terpenuhi.

    1. Lingkungan Fisik

Aspek terapi lingkungan meliputi semua gambaran yang konkrit yang merupakan bagian eksternal kehidupan rumah sakit. Setting-nya meliputi :

  • Bentuk dan struktur bangunan.

  • Pola interaksi antara masyarakat dengan rumah sakit.


Tiga aspek yang mempengaruhi terwujudnya lingkungan fisik yang terapeutik

a. Lingkungan Fisik Tetap

Mencakup struktur dari bentuk bangunan baik eksternal maupun internal. Bagian eksternal meliputi struktur luar rumah sakit, yaitu lokasi dan letak gedung sesuai dengan program pelayanan kesehatan jiwa, salah satunya kesehatan jiwa masyarakat. Berada di tengah-tengah pemukiman penduduk atau masyarakat sekitarnya serta tidak diberi pagar tinggi. Hal ini secara psikologis diharapkan dapat membantu memelihara hubungan terapeutik pasien dengan masyarakat. Memberikan kesempatan kepada keluarga untuk tetap mengakui keberadaan pasien serta menghindari kesan terisolasi.

Bagian internal gedung meliputi penataan struktur sesuai keadaan rumah tinggal yang dilengkapi ruang tamu, ruang tidur, kamar mandi tertutup, WC, dan ruang makan. Masing-masing ruangan tersebut diberi nama dengan tujuan untuk memberikan stimulasi pada pasien khususnya yang mengalami gangguan mental, merangsang memori dan mencegah disorentasi ruangan.

Setiap ruangan harus dilengkapi dengan jadwal kegiatan harian, jadwal terapi aktivitas kelompok, jadwal kunjungan keluarga, dan jadwal kegiatan khusus misalnya rapat ruangan.

b. Lingkungan Fisik Semi Tetap

Fasilitas-fasilitas berupa alat kerumahtanggaan yang meliputi lemari, kursi, meja, peralatan dapur, peralatan makan, mandi dan sebagainya. Semua perlengkapan diatur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pasien bebas berhubungan satu dengan yang lainnya serta menjaga privasi klien pasien.

c. Lingkungan Fisik Tidak Tetap

Lebih ditekankan pada jarak hubungan interpersonal individu serta sangat dipengaruhi oleh sosial budaya.

      1. Lingkungan Psikososial

Lingkungan yang kondusif yaitu fleksibel dan dinamis yang memungkinkan pasien berhubungan dengan orang lain dan dapat mengambil keputusan serta toleransi terhadap tekanan eksternal.

Beberapa prinsip yang perlu diyakini petugas kesehatan dalam berinteraksi dengan pasien :

  • Tingkah laku dikomunikasikan dengan jelas untuk mempertahankan, mengubah tingkah laku pasien.

  • Penerimaan dan pemeliharaan tingkah laku pasien tergantung dari tingkah laku partisipasi petugas kesehatan dan keterlibatan pasien tergantung pada perasaan pasien sebagai anggota kelompok dan pasien dapat mengikuti atau mengisi kegiatan.

  • Kegiatan sehari – hari mendorong interaksi antara pasien.

  • Mempertahankan kontak dengan lingkungan ,misalnya jam dinding berbunyi, adanya kalender harian,adanya nama – nama tempat (kamar tidur, dapur, dan lain – lain ), adanya papan nama dan tanda pengenal bagi petugas kesehatan.

F. Peranan Perawat Dalam Terapi Lingkungan

Perawat sebagai individu yang unik dan selalu berada dengan pasien selama 24 jam dibandingkan dengan anggota tim kesehatan jiwa lainnya sehingga peranannya dalam menyelenggarakan terapi lingkungan menjadi lebih besar.

Perawat sebagai seoang manusia dan bertugas dalam terapi lingkungan harus dapat menilai dirinya tentang kesadaran diri, kekuatan, dan kemampuan dalam hal pengetahuan tentang antropologi, kebudayaan karena kan membantu dirinya untuk bertoleransi terhadap perilaku – perilaku yang ditujukan oleh pasien

Peranan perawat dalam menyelenggarakan terapi lingkungan adalah :

        1. Pencipta lingkungan yang aman dan nyaman :

  1. Perawat menciptakan dan mempertahankan iklim/ suasana yang akrab, menyenangkan, saling menghargai diantara sesama perawat, petugas kesehatan dan pasien.

  2. Perawat menciptakan suasana yang aman dari benda – benda atau keadaan – keadaan yang menimbulkan terjadinya kecelakaan/ luka terhadap pasien atau perawat.

  3. Menciptakan suasana yang nyaman, yaitu mengatur tatanan ruangan dimana memungkinkan pasien betah seperti kondisi rumah sendiri (home sweet home ) serta pasien dapat menjalankan kegiatan sehari – hari sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya bangsal yang ditata memiliki ruang tamu, ruang keluarga untuk bersantai, kamar tidur dengan kelengkapannya masing – masing serta kamar mandi dan wc yang besifat melindungi privasinya.

  4. Pasien diminta untuk berpatisipasi melakukan kegiatan bagi dirinya dan orang lain seperti biasa dilakukan di rumahnya. Misalnya mencuci piring dan pakaian, membereskan kamar, dan sebagainya.

2. Penyelenggara proses sosialisasi:

    1. Membantu pasien untuk belajar berinteraksi dengan orang lain mempercayai orang lain, memuaskan bagi dirinya dan orang lain, sehingga meningkatkan harga diri dan berguna orang lain.

    2. Mendorong pasien untuk berkomunikasi tentang ide – ide, perasaan – perasaanya dan perilakunya secara terbuka sesuai dengan aturan didalam kegiatan – kegiatan tertentu.

    3. Melalui sosialisasi pasien belajar tentang kegiatan – kegiatan atau kemampuan yang baru, dan dapat dilakukannya sesuai kemampuan dan minatnya pada waktu – waktu yang luang.

3. Sebagai teknisi perawatan

Selama proses terapi lingkungan fungsi perawat adalah memberikan / memenuhi kebutuhan dari pasien, memberikan obat – obatan yang telah ditetapkan, mengamati efek dari obat dan perilaku – perilaku yang menonjol / menyimpang serta mengidentifikasi masalah – masalah yang timbul dalam terapi tersebut.

  1. Sebagai leader atau pengelola

Dalam pelaksanaan terapi lingkungan perawat harus mampu mengelola sehingga tercipta lingkungan terapeutik yang mendukung penyembuhan dan memberikan dampak baik secara fisik maupun secara psikologis pada pasien.


G. Jenis – jenis terapi lingkungan

  1. Terapi rekreasi :

Yaitu terapi yang menggunakan salah satu kegiatan yang dilakukan pada waktu luang, dengan tujuan pasien dapat melakukan kegiatan secara konstruktif dan menyenagkan serta mengembangkan kemampuan hubungan social.Didalam kehidupan bangsal yang memimpin terapi ini adalah perawat, dimana dia harus dapat menyesuaikan kegiatan dengan tingkatan umur. Misalnya untuk remaja yang membutuhkan kegiatan yang mengeluarkan banyak energi seperti basket, renang dan lain- alin, sedangkan untuk orang tua tidak mengeluarkan banyak tenaga seperti main kartu, karambol dan sebagainya.

  1. Terapi Kreasi seni :

Perawat dalam terapi ini dapat sebagai leader atau bekerja sama dengan oranglain yang ahli dalam bidangnya karena harus sesuai dengan bakat dan minat diantaranya adalah :

    1. Dance therapy / menari :

Suatu terapi yang menggunakan bentuk ekspresi non verbal dengan menggunakan gerakan tubuh diman mengkomunikasikan tentang perasaan – perasaan dan kebutuhan – kebutuhan. KEgiatan dapat disesuaikan dengan kultur dan diman pasien berasal serta RS itu berada.

    1. Terapi musik

Terapi ini dilakukan melalui musik. Dengan musik memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekpresikan perasan – perasaanya seperti marah , sedih, kesepian. Pelaksanaan terapi ini dapat dilakukan bersama (berkelompok) atau individual. Pasien yang sedang sedih biasanya memilih musik yang sentimentil, sedangkan pada pasien yang gembira memilih lagu yang gembira dan menuntut banyak gerak.

c. Terapi dengan menggambar / melukis;

Dengan menggambar atau melukis akan memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan tentang apa yang sedang terjadi dengan dirinya. Kegiatan ini dapat dilakukan secara individu atau berkelompok di berbagai sarana seperti di RS, rawat jalan ataupun di rumah –rumah perawatan. Dengan menggambar juga akan menurunkan ketegangan dan memusatkan pikiran pada kegiatan.

d. Literatur/ biblio therapy

Terapi dengan kegiatan membaca seperti novel, majalah, buku –buku, dan kemudian mendiskusikan diantara pasien tentang pendapat –pendapatnya terhadap topik yang dibaca.

Tujuan dari terapi ini adalah mengembangkan wawasan diri dan bagaimana mengekspresikan perasaan / pikiran dan perilaku yang sesuai dengan norma –norma yang ada.

3. Pettherapy

Terapi ini bertujuan untuk menstimulasi respon pasien yang tidak mampu mengadakan hubungan interaksi dengan orang – orang dan pasien biasanya merasa kesepian, menyendiri. Sarana yang dipergunakan dalam terapi ini adalah binatang –binatang dimana dapat memberikan respon menyenangkan kepada pasien, seringkali dipergunakan pada pasien anak dengan autistik.

4. Plant therapy

Terapi ini bertujuan untuk mengajar pasien untuk memelihara segala sesuatu / mahluk hidup, dan membantu hubungan yang akrab antara satu pribadi kepada pribadi lainnya.

Kegiatan ini menggunakan tanaman/ tumbuhan sebagai objek dalam mencapai tujuan therapi. Menanam tumbuh – tumbuhan mulai dari biji sampai menjadi bunga atau buah dan diperbolehkan untuk memetiknya bagi pasien merupakan pengalaman memelihara mahluk hidup dengan kasih sayang dan berhasil di luar dirinya.

5. REHABILITASI

Pasien psikiatri juga sama dengan penyakit fisik dalam kecenderungannya untuk menjadi menahun, sehingga memerlukan perawatan continue dirumah sakit atau dirumah. Di masa lampau, sewaktu tidak ada terapi yang efektif dan toleransi masyarakat rendah, maka pasien demikian dimasukkan dalam rumah sakit jiwa. Rumah sakit ini biasanya besar, dibangun diatas tanah yang murah dan terisolasi dari lingkungan masyarakat sekitar, sampai sekarang masih ada yang tetap dipertahnkan sebagai rumah sakit jiwa. Penghuninya sering menderita neurosis institusional disamping mereka yang memang sakit, biasanya skizofrenia.

Saat ini psikiater cenderung melakukan pengulangan dini, rehabilitasi cepat, perawatan di rumah, kebijaksanaan pintu terbuka, dan perawatan oleh masyarakat. Tempat tidur rumah sakit jiwa di Inggris turun dari 3,5/1000 dalam tahun 1954 sampai 1,7 dalam 1978, tetapi di Scotlandia hal ini tidak terjadi, sebab pada tahun 1979 angka ini masih 3,3/1000. Sayangnya, kebijaksanaan yang mulai dilakukan pada tahun 1960an dan 1970an ini sering menyebabkan diabaikan oleh masyarakat, karena kegagalan pemerintah membuat pengawasan adekuat, dan penyediaan staff untuk membuat perawatan masyarakat menjadi suatu kenyataan.

Penetilian dalam populasi saat ini, menunjukkan semakin kurang pasien skizofrenia dan pasien geriatri semakin meningkat, memperlihatkan bahwa seperlima darinya memerlukan hostel atau fasilitas hotel, tetapi sangat sedikit membutuhkan perawatan atau perawatan medis. Pasien dalam perawatan terbuka ini, baik dalam rumah sakit atau masyarakat, memperlihatkan penarikan sosial serta perilaku memalukan secara sosial.

Rehabilitasi mencakup semua terapi psikiatri non akut dan terutama untuk mencegah terjadinya penyakit yang menahun. Unit psikiatri sosial MRC memperlihatkan bahwa dalam rumah sakit, dimana ada kemiskinan sosial (misal. Keadaan sekeliling yang menjemukan, staff tidak aktif, hanya memiliki sedikit pakaian pribadi, kenyamanan pasien kurang diperhatikan), pasien secara klinik sangat buruk. Lebih lama mereka berada dalam keadaan seperti itu di rumah sakit semakin parah gejalanya. Sewaktu rangsangan dari luar ditingkatkan dengan berbagai aktivitas yang positif dan menarik, kontak dengan dunia luar melalui surat, kunjungan dan tamasya, maka pembatasan diredam dan keebasan terpacu, sehingga terlihat penurunan bermakna dalam penarikan sosial dan gejala negatif skizofrenia.

Faktor utama yang bertanggung jawab atas terjadinya penyakit yang menahun adalah banyaknya waktu pasien berada di rumah sakit tanpa berbuat sesuatu apapun. Terapi kerja dan terapi industri memainkan peranan kunci dalam memberikan rangsangan dan aktivitas, walaupun begitu rangsangan yang berlebihan (emosi diekspresikan tinggi) bisa memberikan efek yang merugikan bagi pasien skizofrenia.

Psikolog dan teori psikologi juga berperan dalam rehabilitasi. Laporan tentang suatu percobaan dengan memberikan hadiah kepada pasien menahun yang berkelakuan normal, menjanjikan suatu hasil yang baik. Tetapi ada kemungkinan ini berkaitan dengan ditambhanya staff untuk giat memperhatikan tingkah laku mereka dan bukan karena percobaan itu sendiri. Alasannya percobaan ini hanya berhasil ditahap permulaan, setelah ada kemajuan sulit untuk memperthankannya.

Latihan keterampilan sosial memberi hasil yang bertahan lebih lama. Pasien skizofrenia dan pasien menahun lain tidak berfungsi atau akan menjadi tidak berfungsi secara sosial serta berespon terhadap latihan perilaku intensif dan keterampilan sosial sederhana.program dan tekhik seperti ini dilakukan setiap hari pada kebanyakan rumah sakit jiwa.

Ada banyak rumah sakit yang mempunyai berbagai macam rehabilitasi. Di samping ada departemen terapi kerja, dan terapi industri ada juga bengkel kerja, dapur, rumah tinggal kecil dan hostel di dalam dan di luar rumah sakit digunakan untuk latihan dalam keterampilan sosial agar secara bertahap pemerintah dapat bekerja sendiri. Kapasitas bekerja pasien dinilai serta kemampuannya untuk kembali ke pekerjaan normal diperiksa dan dikembangkan.

Semua latihan ini melibatkan suatu pendekatan tim yang dapat terdiri dari dokter, perawat, pekerja sosial, psikolog, dan ahli terapi kerja. Sewaktu pasien keluar dari rumah sakit, maka anggota tim memperlancar kontak mereka dengan masyarakat. Tim ini bekerja sebagai penasehat dan pembimbing pasien.

Perawatan di siang hari semakin banyak tersedia, baik untuk pasien akut dan menahun. Kebanyakan rumah sakit jiwa mempunyai proporsi pasien yang hanya dirawat di siang hari. Sehingga banyak pasien yang memerlukan perawatan jangka panjang dapat berfungsi diluar rumah sakit, pulang ke rumah pada malam hari atau pada akhir minggu. Disamping itu ada juga perawatan hanya malam hari, perawatan 5 hari seminggu, perawatan akhir minggu, atau berbagai jenis perawatan lain yang dapat diatur lebih fleksibel. Adanya pemberian fenotiazin jangka panjang melalui suntikan kepada pasien skizofrenia menahun dengan diawasi oleh perawat yang dapat datang ke rumah juga telah meningkatkan pasien yang tidak menetap di rumah sakit sepanjang hari. Dan jika fasilitas untuk itu semakin banyak tentunya ada semakin banyak juga pasien yang dapat dirawat jalan.

Undang-undang kesehatan jiwa membebani pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan kesehatan bagi pasien jiwa dengan memberikan kehidupan bagi mereka didalam masyarakat. Banyak pemerintah daerah yang menyediakan pekerja sosial atau perawat yang dapat dipanggil, tetapi hanya sedikit yang menyediakan tempat tinggal atau perawatan siang hari, walaupun sudah pernah dicoba untuk bekerja sama dengan instansi kesehatan yang berwenang.

Undang-undang sosial memperluas tanggung jawab pelayanan kesehatan mental masyarakat pada departemen sosial. Sehingga ada peningkatan rumah sakit yang menampung pasien jiwa atau rumah pemondokan pasien jiwa serta perkumpulan sosial yang memperhatikan mereka yang tinggal sendirian.

Sokongan pekerja sosial untuk rehabilitasi sangat penting. Pekerja sosial, terutama yang dengan pengalaman psikiatri, mampu menilai serta membantu masalah emosi, sosial dan keluarga pasien serta memberikan nasehat tentang pelayanan yang tersedia untuk membantu psien dan keluarganya.

Pasien jiwa menahun yang hidup di rumah bisa sangat membebani anggota keluarga lainnya, dan mempengaruhi kesehatan fisik dan mentalnya. Tindakan penutupan rumah sakit secara sembrono dan kejam bisa memberikan efek yang merugikan, baik bagi pasien maupun keluargannya. Sampai saat ini untuk beberapa pasien, masih diperlukan rumah sakit jiwa.

6. TERAPI BERMAIN

Anak – anak di bawah umur 10 tahun kemungkinan mengalami kesukaran dengan bentuk komunikasi yang secara murni lisan. Dunia mereka yang subyektif dapat di ekpresikan dengan lebih baik melalui media mengggambar, permainan atau bercerita dari mereka sendiri. Modus kominikasi ini adalah integral untuk terapi bermain. Keadaan ini harus dilihat sebagai bentuk ekpresi langsung dan bukan sebagai pengganti yang adekuat untuk bercakap. Dengan demikian anak dapat mengekspresikan perasaan mereka atau menceritakan perincian dari pengalaman mereka melalui bentuk bermain ini.

Terapi mengandalkan pada hubungan terapeutik, hormat pada orang dewasa pengasuh yang memperlihatkan hormat terhadap anak sebagai seorang individu.Anak-anak mempunyai kecendrungan alamiah untuk memerankan pengalaman internal mereka melalui bermain. Anak–anak dengan pengalaman traumatik masa lalu (penyiksaan langsung atau menyaksikan peristiwa kekerasan) dapat mampu mengatasi pengalaman traumatik mereka melalui terapi bermain secara langsung, walaupun mereka mungkin tidak pernah menyatakn perasaan atau pengalaman mereka mennjadi kata-kata sebenarnya.

Sebagian besar anak mempunyai suatu kekuatan progresif kearah perkembangan yang sehat. Lingkungan terapeutik dari dukungan pada dasarnya menempatkan komunikasi pada tingkatannya dan memungkinkan untuk menangani kesukaran mereka. Pengertian, pernyataan empatik atau penjelasan dan interprestasi dapat mempermudah proses ini. Untuk anak-anak, intrvensi ini daapt lebih konkrit dan mendidik serta kadang-kadang diperankan dalam bermain sendiri. Kemampuan kognitif/konseptual anak yang terbatas perlu diterima dan dimengerti, tetapi beberapa tingkat observasi diri dapat dicapai dan berguna pada beberapa anak.

Terapi bermain secara fisik dan emosional dapat banyak persyaratannya terhadap terapis. Anak-anak secara fisik sangat aktif. Mereka juga menggunakn pertahanan secara emosional secara umum dari penyangkalan, proyeksi dan isolasi yang cenderung bekerja melawan suatu fungsi integratif. Terapis mempunyai tugas untuk mengenali faktor perkembangan ini, mengkonseptualisasi masalah psikologik dan beregresi secara profesional untuk dapat bersama anak pada tingkat mereka. Kesemua ini dapat sangat melelahkan, demikian juga sangat bermanfaat untuk terapis.

7. PSIKOTERAPI KELOMPOK

Pembagian jenis psikoterapi tadi berdasarkan prosesnya (suportif, redukatif, rekonstruktif). Bila dibagi menurut lamanya, maka ada psikoterapi jangka pendek dan psikoterapi jangka panjang. Bila dilihat dari jumlah pasien, maka ada psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok.

Bila kelompok ini terdiri dari para anggota satu keluarga, maka disebut terapi keluarga. Bila hanya suami istri, disebut konseling pernikahan (“ marriage counseling”).

Terapi keluarga (“ family therapy”) dan konseling pernikahan dilakukan bila keadaan keluarga atau pernikahan itu sendiri yang menjadi sumber stress atau penyebab gangguan jiwa. Sukar untuk mengobati satu orang saja bila interaksi atau pola komunikasi itu yang patologis, karena semua anggota keluarga merupakan kesatuan dan mereka terus-menerus saling mempengaruhi.

Khusus untuk suami-istri, ataupun pasangan lain (kedua-duanya pria atau wanita) yang sering bekerja sama dan masih dapat berfungsi secara “ normal “, maka latihan-latihan perjumpaan (“ encounter”) sangat berguna untuk mengembangkan komunikasi dan saling pengertian yang lebih dalam. Jumpa nikah (“ marriage encounter”) sudah tersebar di seluruh dunia sebagai cara yang efektif untuk memperkokoh pernikahan melalui pengembangan komunikasi antara suami-istri. Akan tetapi bila pola komunikasi sudah patologis, maka sebaiknya dilakukan terapi keluarga, konseling pernikahan atau terapi kelompok.

Terapi kelompok berguna untuk pasien yang:

  1. Segan terhadap psikoterapi individual karena takut, tak percaya pad terapis, bersaing keras dengan terapis, melawan figur orang tua.

  2. Tidak atau kurang pengalaman dengan saudara-saudara; mempunyai sikap bertentangan dengan saudara-saudara; kurang berpartisipasi dalam lingkungan, mempunyai pengalaman keluarga yang rusak; tidak atau sukar menyesuaikan diri dalam kelompok.

  3. Mempunyai intelegensi yang rendah.

Agar proses kelompok dapat berjalan lancar, maka :

  1. Individu harus diterima sebaik-baiknya, sebagaimana ia adanya.

  2. Pembatasan yang tidak perlu, dihindarkan

  3. Pernyataan (ekspresi) verbal yang tak tertahankan dibiarkan keluar

  4. Reaksi-reaksi dalam interaksi kelompok dinilai

  5. Pembentukan kelompok harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan para anggota secara perorangan

Kelompok mempengaruhi individu, seperti ada kemauan kelompok. Tekanan kelompok dirasakan oleh individu. Beberapa fungsi ego, seperti integrasi, pengawasan afek dan perilaku seakan-akan diberi kepada kelompok dan pemimpinnnya.

Fase –fase terapi kelompok secara singkat pada umumnya ialah:

  1. Penyatuan kelompok dengan terbentuknya identifikasi kelompok.

  2. Interaksi dalam kelompok dengan melihat pada dinamika kelompok

  3. Pengertian dan penyelesaian dinamika dengan timbulnya wawasan (" insight”)

Tujuan terapi kelompok ialah : membebaskan individu dari stress;membantu para anggota kelompok agar dapat mengerti lebih jelas sebab kesukaran mereka; membantu terbentuknya mekanisme pembelaan yang lebih baik, yang dapat diterima dan yang lebih memuaskan.

Perbandingan antara beberapa jenis psikoterapi kelompok (terlampir)

8. TERAPI PERILAKU

Terapi perilaku (“behavior therapy”) berusaha menghilangkan masalah perilaku khusus secepat-cepatnya dengan mengawasi perilaku belajar si pasien. Burus F. Skinner merupakan seorang yang terkenal dalam bidang ini. Ada tiga cara utama untuk mengawasi atau mengubah perilaku manusia, yaitu:

  1. Perilaku dapat diubah dengan mengubah peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya, yang membangkitkan bentuk perilaku khusus itu. Misalnya seorang anak yang tidak berprestasi di sekolah dan nakal dikelas hanya dengan seorang guru tertentu dapat menjadi efektif dan rajin bila ia di pindahkan ke kelas lain diajar oleh seorang guru yang lain.

  2. Suatu jenis perilaku yang timbul dalam suatu keadaan tertentu dapat diubah atau dimodifikasi.Misalnya seorang anak dapat diajar untuk melihat dirinya sendiri dalam satu kegiatan kompromi yang konstruktif dan tidak menunjukkan ledakan amarah bila ia menghadapi frustasi.

  3. Akibatnya suatu perilaku tertentu dapat diubah dan dengan demikian perilaku itu dapat dimodifikasi.Misalnya ia dihukum bila ia mengganggu orang lain, dengan demikian rasa bermusuhan mungkin dapat diganti dengan sikap yang lebih kooperatif.

Terapi perilaku dapat dilakukan secara individual ataupun secara berkelompok. Indikasi utama ialah gangguan fobik dan perilaku kompulsif, disfungsi sexsual (misalnya impotensi dan frigiditas) dan deviasi sexsual (misalnya exhibisionisme). Dapat dicoba pada pikiran-pikiran obsesif, gangguan kebiasaan atau pengawasan impuls (misalnya gagap, enuresis dan berjudi secara kompulsif), gangguan nafsu makan (obesitas dan anoreksia) dan reaksi konversi. Terapi perilaku tidak berguna pada skizofrenia akut, depresi yang hebat dan (hipo - ) mania.

Desensitisasi dalam fantasi: pasien itu diminta untuk menutup mata dan santai atau relax, lalu membayangkan bahwa ia pelan-pelan menaruh kakinya pada anak tangga pertama, lalu relax lagi, dan seterusnya sehingga ia dapat melakukan hal itu tanpa kecemasan dan pelan-pelan naik sampai ke puncak tangga. Desensitisasi invivo (dalam kenyataan): pasien diminta melakukan hal itu dalam hal itu yang sebenarnya.

Membanjiri dalam fantasi: pasien diminta untuk dan membayangkan ia sedang berdiri di puncak tangga dan melihat ke bawah, ia sedang bergoyang-goyang, merasa pusing dan sekaligus ketakutan; ia harus meneruskan fantasi ini sehingga ia tidak merasa takut lagi. Membanjiri in vivo: pasien (dengan persetujuannya) dipaksa dan ditarik naik keatas tangga, biarpun berkeringat dan sangat takut, kemudian ia ditahan di atas tangga itu sampai ia menjadi biasa dan tidak takut lagi.

Membuat model (“modelling”): kita mendemonstrasikan kepada pasien apa yang harus dilakukannya, kita mendahuluinya naik tangga itu. ”Operant conditioning”: pasien dipuji atau diberi sesuatu yang menyenangkan setiap kali ia melangkah ke anak-tangga yang berikut. Repetisi kognitif: pasien diminta untuk membayangkan bahwa ia sendiri sedang mengajak seorang penderita lain dengan fobi tinggi untuk naik tangga, ia melakukan segala persuasi. Regulasi diri sendiri: pasien diminta untuk setiap kali ia merasa takut naik tangga mengatakan kepada diri sendiri bahwa: ”toh tidak terlalu sukar, saya dapat mengatasi ketakutan naik tangga!”

Pendekatan perilaku memang makin lama makin banyak diterapkan, bukan saja untuk menghilangkan atau meringankan gejala psikiatrik, akan tetapi dipake juga dalam bidang pendidikan, sosial dan keadaan lain di luar klinik. Dalam hal-hal tertentu boleh di katakan bahwa penanganan itu lebih terletak di bidang ahli pendidikan dan ahli psikologi sosial daripada di bidang ahli spiatrik klinik.

BAB 3

PENATALAKSANAAN TERAPI MODALITAS

3.1 Penatalaksanaan pada psikoterapi (terapi supportif)

  • Ventilasi atau katarsis

Membiarkan pasien mengeluarkan isi hati sesukanya. Sesudahnya biasanya ia merasa lega dan kecemasannya (tentang penyakitnya) berkurang, karena ia lalu dapat melihat masalahnya dalam proporsi yang sebenarnya.

Hal ini dilakukan oleh seorang yang terlatih dengan sikap yang penuh pengertian (empati) dan dengan anjuran. Jangan terlalu banyak memotong bicaranya (menginterupsi). Yang dibicarakan ialah kekhawatiran, impuls-impuls, kecemasan, masalah keluarga, perasaan salah atau berdosa.

  • Persuasi

Penerangan yang masuk akal tentang timbulnya gejala-gejala serta baik-buruknya atau fungsinya gejala-gejala itu. Kritik diri sendiri oleh pasien penting untuk dilakukan.

Dengan demikian maka impuls-impuls yang tertentu dibangkitkan, diubah atau diperkuat dan impuls-impuls yang lain dihilangkan atau dikurangi, serta pasien dibebaskan dari impuls-impuls yang sangat mengganggu. Pasien pelan-pelan menjadi yakin bahwa gejala-gejalanya akan hilang.

  • Sugesti

Secara halus dan tidak langsung menanamkan pikiran pada pasien atau membangkitkan kepercayaan padanya bahwa gejala-gejala akan hilang.

TANGGAL

SITUASI EMOSI

PIKIRAN OTOMATIS

RESPON RASIONAL

HASIL

Tanggal saat masalah dirasakan

  • Kejadian nyata yang menyebabkan ketidaknyamanan emosi

  • Pokok pikiran, khayalan yang menyebabkan ketidaknyamanan emosi

  • Pikiran otomatis yang muncul khususnya sedih, cemas, marah

  • Skala emosi dalam rentang 0-100 %

  • Tulis respon rasional terhadap pemikiran otomatis yang muncul

  • Tuliskan persentase kepercayaannya dalam rentang 0-100 %

  • Tulis kembali tingkat kepercayaan terhadap persentase pikiran otomatis 1-100 %

  • Persentase emosi secara khusus saat sekarang dalam rentang 1-100 %

5 April 2008 jam 10.00 malam

  • Suami belum datang biasanya jam 4 sore sudah datang sekarang sudah jam 12 malam. Tidak ada telepon dan tidak memberi kabar.

  • Jagan-jangan selingkuh atau ketemu bekas pacarnyaatau membawa wanita lain dengan mobilnya.

  • Pikiran otomatis yang muncul cemas, marah, cemburu

  • Cemas 20%

  • Marah 50%

  • Cemburu 30 %

  • Mungkin mobilnya mogok di jalan

  • Mungkin ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan menyangkut rencana seminar nasional

  • Mungkin tidak punya pulsa dan tidak sempat telepon

  • Ada tugas mengajar mendadak ke luar kota

  • Tidak mungkin membawa wanita lain sebab belum pernah terjadi sebelumnya

  • Tidak pernah ada data berhubungan dengan bekas pacarnya

  • Suami sangat sayang pada saya dan bisa dipercaya


  • Suami penganut agama yang taat

  • Cemas 10%

  • Marah 20%

  • Cemburu 5%














Seorang terapist harus mempunyai sikap yang meyakinkan dan otoritas profesional serta menunjukkan empati. Supaya pasien percaya sehingga kritiknya berkurang dan emosinya terpengaruh serta perhatiannya menjadi sempit. Ia mengharap-harapkan sesuatu dan ia mulai percaya.

Bila tidak terdapat gangguan kepribadian yang mendalam, maka sugesti akan efektif, umpamanya pada reaksi konversi yang baru dan dengan konflik yang dangkal atau pada nerosa cemas sesudah kecelakaan.

Sugesti dengan aliran listrik (faradisasi) atau dengan masasi kadang-kadang juga menolong, tetapi perbaikan itu cenderung untuk tidak menjadi tetap karena pasien menganggap pengobatan itu datang dari luar dirinya. Jadi sugesti harus diikuti dengan reedukasi.

Jangan memaksa-maksa pasien dan jangan memberikan kesan bahwa kita menganggap ia membesar-besarkan gejalanya. Dan jangan mengganggu rasa harga diri pasien.

Pasien harus percaya bahwa gejala-gejalanya akan hilang dan bahwa tidak terdapat kerusakan organik sebagai penyebab gejala-gejala itu. Ia harus diyakinkan bahwa bila gejala-gejala itu hilang, hal itu terjadi karena ia sendiri mengenal maksud gejala-gejala itu dan bahwa timbulnya gejala itu tidak logis.

  • Penjaminan kembali atau reassurance

Dilakukan melalui komentar yang halus atau sambil lalu dan pertanyaan yang hati-hati, bahwa pasien mampu berfungsi secara adekuat (cukup, memadai). Dapat juga diberi secara tegas berdasarkan kenyataan atau dengan menekankan pada apa yang telah dicapai oleh pasien.

  • Bimbingan

Memberi nasehat-nasehat yang praktis dan khusus (spesifik) yang berhubungan dengan masalah kesehatan (jiwa) pasien agar ia lebih sanggup mengatasinya, umpamanya tentang cara mengadakan hubungan antar-manusia, cara berkomunikasi, bekerja dan belajar, dan sebagainya.

  • Penyuluhan atau konseling

Suatu bentuk wawancara untuk membantu pasien mengerti dirinya sendiri lebih baik, agar ia dapat mengatasi suatu masalah lingkungan atau dapat menyesuaikan diri.

Konseling biasanya dilakukan sekitar masalah pendidikan, pekerjaan, pernikahan dan pribadi.

  • Kerja-kasus sosial (social casework)

Suatu proses bantuan oleh seorang yang terlatih (pekerja sosial atau social worker) kepada seorang pasien yang memerlukan satu atau lebih pelayanan sosial khusus. Fokusnya ialah pada masalah luar atau keadaan sosial dan tidak (seperti psikoterapi) pada gangguan dalam individu itu sendiri. Tidak diadakan usaha untuk mengubah pola dasar kepribadian pasien, karena tujuannya ialah hanya hendak menangani masalah situasi pada tingkat realistic (nyata).

  • Terapi kerja

Dapat berupa sekedar memberi kesibukan kepada pasien, ataupun berupa latihan kerja tertentu agar ia terampil dalam hal itu dan berguna baginya untuk mencari nafkah kelak.

  • Hipnosa

Dapat membantu psikoterapi, akan tetapi apa yang dapat dicapai dengan hipnosa dalam psikoterapi, dapat juga dicapai dengan cara yang lain tanpa hipnosa. Hipnosa hanya dapat mempercepat pengaruh psikoterapi.

Hal yang penting dalam hipnosa ialah sugesti (bukan kekuatan kemauan therapist – hipnotisir). Kesadaran pasien menyempit dan menurun, akhirnya ia hanya menerima rangsangan dari hipnotisir, ia masuk ke dalam keadaan “trance” mulai ringan sampai ke “trance” yang dalam dengan kekakuan otot di seluruh badan.

Dalam hipnosa dapat dilakukan analisa konflik-konflik dan sintesa, atau sintesa dilanjutkan sesudah pasien sadar kembali. Dalam hal ini sugesti dalam waktu hipnosa dan sugesti sesudah hipnosa dapat dipakai.

  • Narkoterapi

Dilakukan secara intravena disuntikkan suatu hipnotikum dengan efek yang pendek (umpamanya pentothal atau amital natrium). Dalam keadaan setengah tidur pasien diwawancarai, konflik dianalisa, lalu disintesa. Bahan yang timbul sewaktu narkoterapi dapat juga dipakai dalam sintesa sesudah pasien sadar kembali. Narkoterapi dengan narkoanalisa dan narkosintesa itu membantu psikoterapi.

3.2 Penatalaksanaan terapi kognitif

Ada beberapa teknik kognitif terapi yang harus diketahui oleh perawat jiwa. Pengetahuan tentang teknik ini merupakan syarat agar peran perawat jiwa bisa berfungsi secara optimal. Dalam pelaksanaan teknik-teknik ini harus dipadukan dengan teknik lain seperti teknik komter, milieu therapy dan counseling. Beberapa teknik tersebut antara lain :

  1. Teknik Restrukturisasi Kognisi (Restructuring Cognitive)

Perawat berupaya untuk memfasilitasi klien dalam melakukan pengamatan terhadap pemikiran dan perasaan yang muncul. Teknik restrukturisasi dimulai dengan cara memperluas kesadaran diri dan mengamati perasaan dan pemikiran yang mungkin muncul. Biasanya dengan menggunakan pendekatan 5 kolom. Masing-masing kolom terdiri atas perasaan dan pikiran yang muncul saat menghadapi masalah terutama yang dianggap menimbulkan kecemasan saat ini. Sebagai contoh kecemasan yang muncul pada klien saat suaminya datang terlambat.



Perawat jiwa dapat memberikan blanko restructuring cognitive, untuk kemudian diisi oleh klien. Setelah mendapat penjelasan seperlunya, maka hasil analisa klien dan blanko yang sudah terisi dibahas secara bersama.

2. Teknik Penemuan Fakta-fakta (Question The Evidence)

Perawat jiwa mencoba memfasilitasi klien agar membiasakan menuangkan pikiran-pikiran abstraknya secara konkrit dalam bentuk tulisan untuk memudahkan menganalisanya. Tahap selanjutnya yang harus dilakukan perawat saat memfasilitasi kognitif terapi adalah mencari fakta untuk mendukung keyakinan dan kepercayaannya. Teknik penemuan fakta juga mencakup pencarian sumber-sumber data yang berkaitan. Klien yang mengalami distorsi dalam pemikirannya seringkali memberikan bobot yang sama terhadap semua sumber data atau data-data yang tidak disadarinya, seringkali klien menganggap data-data itu mendukung pemikiran buruknya. Data bisa diperoleh dari staff, keluarga atau anggota lain dalam masyarakat sebagai support dalam lingkungan sosialnya. Lingkungan tersebut dapat memberikan masukan yang lebih realistik kepada klien dibanding dengan pemikiran-pemikiran buruknya. Dalam hal ini penemuan fakta dapat berfungsi sebagai penyeimbang pendapat klien tentang pikiran buruknya. Berdasarkan data-data yang bisa dipercaya klien bisa mengambil kesimpulan yang tepat tentang perasaannya selama ini. Misalnya saat klien di PHK, muncul perasaan bahwa dirinya memang tidak berprestasi, kurang pendidikan, atasannya marah dan tidak disukai. Perawat memfasilitasi klien untuk memilih mana fakta mana perasaan negative. Faktanya adalah PHK dilakukan karena perusahaan sedang melakukan restrukturisasi, penghematan dan efisiensi tanpa dilandasi suka atau tidak tidak suka atau bukan karena marah. Pendidikan mungkin menjadi salah satu pertimbangan. Prestasi kerja juga menjadi pertimbangan, tetapi karyawan lain yang memiliki pendidikan lebih tinggi faktanya turut di PHK. Jumlah PHK yang banyak, menunjukkan bahwa masalah ini tidak hanya ditujukan pada klien sendiri. Di sini klien disuruh memilah mana perasaan negative dan mana fakta hasil wawancara dengan sumber yang bisa dipercaya.

3. Teknik Penemuan Alternatif (Examing Alternatives)

Banyak klien melihat bahwa masalah terasa sangat berat karena tidak adanya alternative pemecahan lagi. Khususnya fakta ini berlaku pada klien depresi atau klien dengan percobaan bunuh diri. Latihan menemukan dan mencari alternatif-alternatif pemecahan masalah klien bisa dilakukan antara klien dengan bantuan perawat. Klien dianjurkan untuk menuliskan masalahnya. Mengurutkan masalah-masalah paling ringan dulu. Kemudian mencari dan menemukan alternatifnya. Klien depresi atau klien gangguan jiwa lain menganggap masalahnya rumit karena akumulasi berbagai masalah seperti: listrik belum bayar, suami selingkuh, anak sakit, genteng bocor, kontrakan habis, sakit maag, bertengkar dengan tetangga. Bila diurutkan dari yang paling ringan biasanya klien bisa menemukan alternatif-alternatif yang bisa dilakukan. Sebagai contoh alternative listrik belum dibayar klien boleh memikirkan tentang: mungkin perlu surat keterangan tidak mampu, menerima pemutusan sementara, mengganti dengan alat penerangan lain, gabung dengan tetangga, membeli alat penerangan yang bisa di-charge siang hari yang lebih hemat, bermusyawarah dengan keluarga lain yang lebih mampu, pindah ke daerah yang lebih terang dari fasilitas umum dan sebagainya. Di sini penting sekali bagi perawat jiwa untuk merangsang klien agar berani berpikir ”lain dari yang biasanya” atau berani ”berpikir beda”.

4. Dekatastropik (decatastrophizing)

Teknik dekatastropik dikenal juga dengan teknik bila dan apa (the what-if then). Hal ini meliputi upaya menolong klien untuk melakukan evaluasi terhadap situasi dimana klien mencoba memandang masalahnya secara berlebihan dari situasi alamiah untuk melatih beradaptasi dengan hal terburuk dengan apa-apa yang mungkin terjadi.

Pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan perawat adalah:

Apa hal terburuk yang akan terjadi bila........”

Apakah akan gawat sekali bila hal tersebut memang betul-betul terjadi........?”

Tindakan pemecahan masalah apa bila hal tersebut benar-benar terjadi.........?”

Tujuannya adalah untuk menolong kilen melihat konsekuensi dari kehidupan.

Dimana tidak selamanya sesuatu itu terjadi atau tidak terjadi. Sebagai contoh klien yang tinggal di pantai harus berani untuk berpikir: ”Apa yang akan saya lakukan bila Tsunami tiba-tiba datang?; Gempa tiba-tiba melanda?; Suami tiba-tiba tenggelam?; Suami tidak mendapat tangkapan ikan?”.

5. Reframing

Reframing adalah strategi dalam merubah persepsi klien terhadap situasi atau perilaku. Hal ini meliputi memfokuskan terhadap sesuatu atau aspek lain dari masalah atau mendukung klien untuk melihat masalahnya dari sudut pandang yang lain. Klien seringkali melihat masalah hanya dalam satu sudut pandang saja. Perawat jiwa penting untuk memperluas kesadaran tentang keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari masalah. Hal ini dapat menolong klien melihat masalah secara seimbang dan melihat dalam prespektif yang baru. Dengan memahami aspek positif dan negatif dari masalah yang dihadapi klien dapat memperluas kesadaran dirinya. Strategi ini juga bisa memicu kesempatan pada klien untuk merubah dan menemukan makna baru, sebab begitu makna berubah maka akan merubah perilaku klien. Sebagai contoh, PHK dapat dipandang sebagai stressor tetapi setelah klien merubah makna PHK, ia dapat berpikir bahwa PHK merupakan kesempatan untuk belajar bisnis, menemukan pengalaman baru, banyaknya waktu bersama keluarga, saatnya belajar home industry dan meraih peluang kerja yang lainnya.

6. Thought Stopping

Kesalahan berpikir seringkali menimbulkan dampak seperti bola salju bagi klien. Awalnya masalah tersebut kecil, tetapi lama kelamaan menjadi sulit dipecahkan. Teknik berhenti memikirkannya (thought stopping) sangat baik digunakan pada saat klien mulai memikirkan sesuatu sebagai masalah. Klien dapat menggambarkan bahwa masalahnya sudah selesai. Menghayalkan bahwa bel berhenti berbunyi. Menghayalkan sebuah bata di dinding yang digunakan untuk menghentikan berpikir dysfunctional. Untuk memulainya, klien diminta untuk menceritakan masalahnya dan mengatakan rangkuman masalahnya dalam khayalan. Perawat menyela khayalan klien dengan cara mengatakan keras-keras ”berhenti”. Setelah itu klien mencoba

Sendiri untuk melakukan sendiri tanpa selaan dari perawat. Selanjutnya klien mencoba menerapkannya dalam situasi keseharian.

  1. Learning New Behaviour With Modeling

Modeling adalah staategi untuk merubah perilaku baru dalam meningkatkan kemampuan dan mengurangi perilaku yang tidak dapat diterima. Sasaran perilakunya adalah memecahkan masalah-masalah yang disusun dalam beberapa urutan kesulitannya. Kemudian klien melakukan observasi pada seseorang yang berhasil memecahkan masalah yang serupa dengan klien dengan cara modifikasi dan mengontrol lingkungannya. Setelah itu klien meniru perilaku orang yang dijadikan model. Awalnya klien melakukan pemecahan secara bersama dengan fasilitator. Selanjutnya klien mencoba memecahkan sendiri sesuai dengan pengalaman yang diperolehnya bersama fasilitator. Sebagai contoh pada klien yang memiliki stressor kesulitan ekonomi, klien bisa ikut magang dulu sambil belajar bisnis atau berdagang dengan orang lain, setelah mendapat pengalaman klien bisa melakukannya sendiri.

  1. Membentuk Pola (Shaping)

Membentuk pola perilaku baru oleh perilaku yang diberikan reinforcement. Setiap perilaku yang diperkirakan sukses dari apa-apa yang diniatkan klien untuk melakukannya akan diberi pujian atau reinforcement. Misalnya anak yang bandel dan tidak akur dengan orang lain berniat untuk damai dan hangat untuk orang lain, maka pada saat nilainya itu menjadi kenyataan, klien diberi pujian.

  1. Token Economy

Token economy adalah bentuk reinforcement positif yang sering digunakan pada kelompok anak-anak atau klien yang mengalami masalah psikiatrik. Hal ini dilakukan secra konsisten pada saat klien mampu menghindari perilaku buruk atau melakukan hal yang baik. misalnya setiap berhasil bangun pagi klien mendapat permen, setiap bangun kesiangan mendapat tanda silang atau gambar bunga berwarna hitam. Kegiatan berlangsung terus-menerus sampa suatu saat jumlahnya diakumulasikan.

  1. Role Play

Role play memungkinkan klien untuk belajar menganalisa perilaku salahnya melalui kegiatan sandiwara yang bisa dievaluasi oleh klien dengan memanfaatkan alur cerita dan perilaku orang lain. Klien dapat menilai dan belajar mengambil keputusan berdasarkan konsekuensi-konsekuensi yang ada dalam cerita. Klien bisa melihat akibat-akibat yang akan terjadi melalui cerita yang disuguhkan. Misalnya klien melihat role play tentang seseorang pasien yang tidak mau makan obat, tidak mau mandi dan sering merokok.

  1. Social Skill Trining

Teknik ini didasari oleh sebuah keyakinan bahwa keterampilan apapun diperoleh sebagai hasil belajar. Beberapa prinsip untuk memperoleh keterampilan baru bagi klien adalah :

    • Bimbingan

    • Demonstasi

    • Praktik

    • Feedback

Sebagai contoh bagi klien pemalas (abulia), dapat diajarkan keterampilan membersihkan lantai, perawat mendemonstrasikan cara membersihkan lantai yang baik, selanjutnya perawat mengupayakan agar klien mempraktikkan sendiri. Perawt melakukan feedback dengan cara menilai dan memperbaiki kegiatan yang masih belum sesuai harapan.

  1. Aversion Therapy

Aversion therapy bertujuan untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan buruk klien dengan cara mengaversikan kegiatan buruk tersebut dengan sesuatu yang tidak disukai. Misalnya kebiasaan menggigit penghapus saat boring dengan cara membayangkan bahwa penghapus itu dianggap sebagai cacing atau ulat yang menjijikkan. Setiap klien kegemukan melakukan kebiasaan ngemil makanan, maka ia dianjurkan untuk membahayakan kotoran kambing yang dimakan terus.

  1. Contingency Contracting

Contingency contracting berfokus pada perjanjian yang dibuat antara therapist dalam hal ini perawat jiwa dengan klien. Perjanjian dibuat dengan punishment dan reward. Misalnya bila klien berhasil mandi tepat waktu atau meninggalkankebiasaan merokok maka pada saat bertemu dengan perawat hal tersebut akan diberikan reward. Konsekuensi yang berat telah disepakati antara klien dengan perawat, terutama bila klien melanggar kebiasaan buruk yang sudah disepakati untuk ditinggalkan.


3.3 Penatalaksanaan terapi keluarga

Nama Jay Harley erat hubungannya dengan model ini. Dasar dari ajaran teori komunikasi adalah sebagai berikut: semua tingkah laku adalah komunikasi. Terapi ini dapat dilakukan oleh klien maupun anggota keluarga lainnya. Gambaran terperinci dari problem dan penentuan tujuan keluarga dalam pengobatan merupakan langkah pertama dalam terapi. Strategi terapi meliputi:

  1. Reframing; dimana problem ditegaskan kembali oleh ahli terapi/orang yang melakukan terapi sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh keluarga. Contoh: problem yang mengandung arti positif merupakan suatu tipe reframing yang spesifik, dikembangkan untuk mengartikan suatu masalah.

  2. Pengendalian perubahn; Contoh: keluarga diminta untuk melaksanakan beberapa tindakan dan target untuk mengatasi masalah dalam beberapa minggu. Misalnya yang biasa tidak biasa mencuci baju sendiri belajar untuk mencuci baju.

  3. Paradok (kontrdiksi/pesan pertentangan); contoh: pertentangan keluarga yang tinggi akan menyebabkan perubahan suatu respon. Anggota keluarga yang biasanya dominan mencoba untuk tidak dominan, yang biasa mengatur berupaya untuk belajar diatur, yang biasa banyak bicara berusaha untuk mendengar dan sebagainya.

Peran dan fungsi perawat tergantung pada pendekatan terapi seperti dinyatakan pada beberapa model terapi. Aspek umum dari proses terapi meliputi:

  1. Permulaan hubungan dan menjalin trust.

  2. Pengkajian dan perencanaan.

  3. Implementasi dan tahap kerja.

  4. Evaluasi dan terminasi.

  1. perawatan yang disiapkan sebagai anggota tim yang melaksanakan intervesi keluarga atau melaksanakan psiko education bekerja dibawah pengawasan dan petunjuk dari perawat spesialis klinik psikiatrik atau spesialis kesehatan mental lainnya yang sudah terlatih dan berpengalaman dalam terapi keluarga.

3.4 Penatalaksanaan Terapi Lingkungan

  1. Pasien rendah diri (low self esteem), depresi (depression), bunuh diri (suicide).

Syarat lingkungan secara psikologis harus memenuhi hal –hal sebagai berikut:

  • Ruangan aman dan nyaman.

  • Terhindar dari alat –alat yang dapat digunakan untuk mencederai diri sendiri atau orang lain.

  • Alat – alat medis, obat –obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam keadaan terkunci.

  • Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keseluruhan ruangan mudah dipantau oleh petugas kesehatan.

  • Tata ruangan menarik dengan cara menempelkan poster yang cerah dan meningkatkan gairah hidup pasien.

  • Warna dinding cerah.

  • Adanya bacaan ringan, lucu, dan memotivasi hidup.

  • Hadirkan musik ceria, TV, dan film komedi.

  • Adanya

  • lemari khusus untuk menyimpan barang – barang pribadi pasien.

Lingkungan sosial:

  • Komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas menyapa pasien sesering mungkin.

  • Memberikan penjelasan setiap akan melakukan kegiatan keperawatan atau kegiatan medis lainnya.

  • Menerima pasien apa adanya, jangan mengejek atau merendahkan.

  • Meningkatkan harga diri pasien.

  • Membantu menilai dan meningkatkan hubungan sosial secara bertahap.

  • Membantu pasien dalam berinteraksi dengan keluarganya.

  • Seratakan keluarga dalam rencana asuhan keperawatan, jangan membiarkan pasien sendiri terlalu lama dalam ruangannya.

  1. Pasien dengan amuk.

Lingkungan fisik:

  • Ruangan aman, nyaman, dan mendapat pencahayaan yang cukup.

  • Pasien satu kamar satu orang, bila sekamar lebih dari satu jangan diacampur antara yang kuat dengan yang lemah.

  • Ada jendela berjeruji dengan pintu dari besi terkunci.

  • Tersedia kebijakan dan prosedur tertulis tentang protokol pengikatan dan pengasinagan secara aman, serta protokol pelepasan pengikatan.

Lingkungan psikososial:

  • Komunikasi terapeutik, sikap bersahabat dan perasaan empati,.

  • Oservasi pasien setiap 15 menit.

  • Jelaskan tujuan pengikatan/ pengekangan secara berulang –ulang.

  • Penuhi kebutuhan fisik pasien.

  • Libatkan keluarga.

3.6 Peran Perawat Jiwa

Secara umum peranan perawat jiwa dalam pelaksanaan terapi modalitas bertindak sebagai leader, fasilitator, evaluator, dan motivator. Tindakan tersebut meliputi:

        1. Mendidik kembali dan mengorentasi kembali seluruh anggota keluarga misalnya perawat menjelaskan mengapa komunikasi itu penting, apa visi seluruh keluarga, kesamaan harapan apa yang dimiliki semua anggota keluarga.

        2. Memberikan dukungan kepada klien serta system yang mendukung klien untuk mencapai tujuan dan usaha untuk berubah. Perawat meyakinkan bahwa keluarga klien mampu memecahkan masalah yang dihadapi anggotanya.

        3. Mengkoordinasi dan mengintegrasi sumber pelayanan kesehatan. Perawat menunjukkan institusi kesehatan mana yang harus bekerja sama dengan keluarga dan siapa yang bisa diajak konsultasi.

        4. Memberi pelayanan prevensi primer, sekunder, dan tersier melaui penyuluhan, perawatan di rumah, pendidikan, dan sebagainya. Bila ada anggota keluarga yang kurang memahami perilaku sehat didiskusikan atau bila ada keluarga yang membutuhkan perawatan.